6
hari telah berlalu dan petualangan akademisku di Jakarta sudah pada puncaknya,
sore hari tanggal 22 November di rumah
Bu Suwarsono, aku dan teman-temanku bersiap diri untuk menuju ke Stasiun Pasar Senen. Setelah menyelesaikan urusan keuangan penginapan
dan mengantarkan Dwi pulang ke Bekasi karena telah dijemput oleh Saudaranya,
aku pun mulai bersiap-siap. Sore itu juga aku dan ke tujuh temanku harus segera
menuju ke Stasiun Pasar Senen karena kereta yang akan dinaiki berangkat pada
pukul 9 malam. Sebenarnya keretaku masih berangkat di keesokan harinya jam 8
pagi. Tapi entah kenapa aku ingin berangkat bersama dengan teman-teman ke
Stasiun Pasar Senen pada malam itu juga.
Dalam
perjalanan menuju ke stasiun dengan menaiki bis P20 aku terus berpikir. Mau
kemanakah aku nanti setelah ditinggal teman-temanku? Pergi ke masjid, pergi ke
rumah teman, atau tidur di stasiun. Pertanyaan dan acaman selalu terlintas di
pikiranku sampai ada pikiran gimana kalau aku kembali ke rumah Bu Suwarsono,
tidur semalam lalu besuk paginya berangkat. Semua pikiran itu menggangguku,
tapi aku pun mulai memberanikan diri dan mencoba menguatkan diri bahwa
keputusanku malam itu berangkat bersama teman-teman ke stasiun sudah tepat.
Soal disana mau seperti apa itu urusan nanti.
Jam
8 kurang akhirnya aku dan ketujuh temanku bersama dengan Fahmi yang mengantar
kami sampai di Stasiun Pasar Senen. Rupanya di stasiun sudah ada Adoy, salah
satu temanku juga yang akan kembali ke Yogyakarta bersama dengan tujuh teman
yang lain. Setelah membeli beberapa ransum di salah satu swalayan dan membeli
makanan untuk makan malam kedelapan temanku pun mulai masuk peron dan Fahmi
memutuskan untuk pulang. Disaat itulah kebingungan dan keraguan mulai
melandaku. Setelah berpisah didepan pintu masuk aku pun memutuskan untuk
mencari mushola dan melaksanakan sholat Isya’ sekaligus menjamak sholat Magrib
sambil mengamati kondisi stasiun.
Selesai
sholat aku pun mencoba mengamati kondisi sekitar, rupanya memang ada sebuah
ruangan yang digunakan sebagai tempat tunggu calon penumpang kereta dan disana
sepertinya sudah biasa digunakan sebagai tempat istirahat oleh para calon
penumpang yang ingin menaiki kereta malam atau kereta yang berangkat dini hari
di keesokan harinya. Aku pun segera menuju kesana dan mengambil tempat duduk di
bagian pojok paling belakang tepat dimana sebelahku adalah sepasang orang tua
yang sudah kelihatan lanjut usia.
Sambutan
hangat di ucapkan oleh nenek yang duduknya tepat disebelahku. Terlihat pula
kakek-kakek disebelah nenek itu bersandar kepada dinding dan matanya mulai
terpejam, si kakek terlihat kelelahan sekali. Perutku pun mulai lapar dan aku
pun memulai memakan makanan yang telah dibelikan Panji tadi. Aku tawarkan
makananku kepada si nenek yang menyapaku, beliau tidak mau karena rupanya
beliau sudah makan tadi. Aku pun memulai menyantap makananku dan sambil makan
aku pun berbincang-bincang dengan si nenek.
Rupanya
nenek dan kakek ini berasal dari Gresik, Jawa Timut. Beliau baru saja dari rumah anaknya di Banten. Si
kakek yang sudah tidak kerasan berlama-lama dirumah sang anak berkeinginan
untuk segera pulang ke Gresik sehingga malam itu juga beliau berangkat ke
stasiun Pasar Senen. Sayangnya setelah kedua orang tua tersebut sampai di
stasiun, tiket kereta untuk perjalanan ke Jakarta – Surabaya telah habis dan
kata petugas loket tiket baru akan ada lagi besuk pagi. Oleh karena itu, si
kakek dan nenek ini pun memutuskan untuk menginap di stasiun sambil menunggu
keesokan harinya untuk membeli tiket. Namun, sekali lagi tiket yang dijanjikan
pun sebenarnya juga belum pasti apakah masih ada atau tidak. Selain itu kakek
dan nenek pun juga hanya sendirian. Tidak ada sanak saudara atau bahkan anaknya
yang menemani di stasiun. Mereka seolah-olah dibiarkan untuk pulang
sendirian kembali ke kota Gresik.
Setelah
selesai makan aku pun mulai mengajukan pertanyaan kepada si nenek soal
bagaimana jika mereka tidak mendapatkan tiket besuk paginya. Si nenek menjawab
dia dan kakek akan berangkat ke terminal untuk pulang dengan bis. Intinya hari
itu juga si nenek dan kakek harus segera pulang ke Gresik dengan cara apapun
juga. Aku pun merasa sangat kasihan kepada mereka karena mereka harus berjuang
sendirian untuk dapat kembali pulang ke rumah sana. Sedangkan tubuh mereka
sudah kelihatan sangat tua dan menurutku tidak sepantasnya mereka berada
disini. Seharusnya mereka masih ada di rumah beristirahat dengan nyaman lalu
keesokan harinya si anak mengantarkan mereka ke stasiun atau terminal untuk
bisa pulang kembali ke Gresik, itulah pikirku waktu itu.
Makanan
yang telah selesai aku makan pun akhirnya aku buang ke tempat sampah. Seketika
aku kembali ke tempat dudukku setelah membuang sampah, si nenek tiba-tiba
menawarkan kepadaku jam tangan si kakek yang sedang dipakainya. Aku pun
menanyakan alasan kenapa nenek menawarkan jam tangan tersebut. Dan jawaban si
nenek adalah karena mereka sudah tidak memiliki uang lagi dan jika besuk harus
berangkat ke Gresik dengan menggunakan bis, uangnya sudah tidak cukup sehingga
beliau menawarkan jam tangan tersebut untuk dijual kepadaku dengan harga yang
murah sekali. Dalam perasaan kebetulan sekali aku kan sedang mencari jam tangan
sebenarnya, jawabku dalam hati. Tapi aku pun menyadari alasan si nenek tersebut
sehingga aku pun mencoba mencari tahu latar belakang jam tangan tersebut.
Rupanya
jam tangan tersebut merupakan pemberian dari anaknya. Jam tangan tersebut
memiliki mesin yang masih bagus, terbuat dari bahan stainless steel dengan kemampuan water proof maksimal kedalaman 50
meter. Pada awalnya aku sedikit menolak dengan alasan jam tangan tersebut
merupakan pemberian dari anaknya kepada si kakek. Takutnya nanti si kakek
dimarahi oleh anaknya karena telah menjual barang yang dibelikannya dan
dianggap tidak menghargai pemberian anaknya. Tapi si nenek mengatakan bahwa sebenarnya
kakek tidak terlalu membutuhkan jam tangan tersebut, dan jika aku nanti tidak
mau membelinya juga ndak akan apa – apa. Toh nantinya akan tetep nenek jual ke
orang lain. Mendengar perkataan beliau pikirku mulai melayang-layang. Jika
dibeli oleh orang lain kemungkinannya akan terjual dengan harga yang lebih
murah dibandingkan saat ditawarkan kepadaku. Lalu aku pun menanyakan kembali
berapa harga jam tangan tersebut saat dibeli. Nenek tersebut menjawab dengan
sedikit keragu-raguan.
Kini
aku dihadapkan dengan pilihan yang sulit, aku tahu kondisi si kakek dan nenek
bahwa mereka membutuhkan uang. Aku bisa memberikan kepada mereka dengan
cuma-cuma sebesar nominal yang aku bisa. Tapi aku takut hal tersebut membuat
hati mereka hancur karena dikiranya nanti aku menganggap mereka seperti
pengemis. Akhirnya setelah berpikir-pikir sejenak, aku pun memutuskan membeli
jam tersebut dengan harga yang sama dengan harga saat jam itu dibeli dan
menambahkan uang lebih saat menyerahkannya kepada si kakek dan nenek dengan harapan
semoga uang tersebut dapat bermanfaat dan kakek serta nenek dapat kembali ke
Gresik dengan sehat dan aman.
Malam
itu malam yang cukup melelahkan bagiku, kondisi tubuhku sudah mulai drop sedangkan besuk ketika telah sampai
di Semarang aku harus segera berangkat ke Jepara dengan menggunakan motor.
Otomatis aku harus segera beristirahat malam itu. Mengetahui hal itu si nenek
mulai membangunkan si kakek untuk memintanya menata kardus dan koran yang
tadinya mereka beli. Si kakek tersebut menata koran dan kardus di depan kursi
kami. Setelah selesai, si kakek pun mulai merebahkan diri diatas susunan koran
dan kardus tadi. Begitu juga si nenek yang mengikuti perilaku si kakek. Rupanya
mereka telah berencana untuk tidur di stasiun dan tidur mereka di atas lantai
yang beralaskan koran dan kardus. Lalu si nenek berkata kepadaku untuk tidur di
kursi panjang tempat kami duduk, sementara kakek dan nenek tidur di bawah.
Sontak aku kaget dan meminta kepada si nenek untuk tidur di kursi saja. Aku pun
mencoba mecari-cari alasan untuk menolak permintaan mereka tidur dikursi
tersebut. Namun si nenek tetap bersikeras dan akhirnya aku pun mulai mengikuti
perintah nenek tersebut.
Ketika kakek
dan nenek mulai tertidur aku pun memilih untuk tidak merebahkan tubuhku dan
berusaha untuk tetap duduk dan membuka mata. Aku bertekad untuk menjaga kakek
dan nenek beserta barang bawaan mereka saat mereka telah tertidur. Dengan
kondisi tubuh yang sudah capek, aku mencoba menguatkan diri. Takut jika ada
suatu bahaya yang tiba-tiba datang saat itu. Aku pun berusaha tetap membuka
mata dengan membaca buku bacaan yang aku bawa sambil terus mengamati lingkungan
sekitar stasiun.
Rupanya
beginilah kehidupan malam di Stasiun Pasar Senen. Tidak sedikit rupanya
orang-orang yang juga ikut tidur di stasiun untuk menunggu kereta pagi yang
akan mereka naikki besok harinya. Padahal hari itu adalah hari biasa bukan hari
mudik seperti menjelang hari raya Idul Fitri. Aku menyadari bahwa inilah
ibukota, kehidupan di ibukota memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota
tempat dimana biasanya aku tinggal. Sekali lagi, mataku terbuka kembali melihat
kondisi masyarakat negaraku yang dengan sukarela tidur diatas lantai dan kursi
untuk menunggu kedatangan kereta yang akan mereka naiki. Keterbatasan yang ada
lantas tidak membuat mereka putus asa, tapi dengan ala kadarnya mereka berusaha
untuk tetap mempertahan diri dan memperjuangkan kehidupan mereka. Sedangkan
mereka para pejabat-pejabat tinggi negara lantas hidup dengan kenikmatan dari
apa yang dihasilkan dari jerih payah rakyatnya. Ironis memang, tapi memang
beginilah kehidupan lebih tepatnya kehidupan di kota besar. Mungkin tidak hanya
di Jakarta, tapi di kota-kota lain pasti juga ada namun aku saja yang belum
melihatnya.
Malam semakin
larut dan tubuh ini sudah mulai menolak setiap gerekan yang aku perintahkan.
Tubuh ini meminta haknya untuk istirahat, mata ini meminta untuk menutupkan
kelopak matanya. Akhirnya, aku pun menyerah dan mulai merebahkan diri. Sudah
menjadi kebiasaan bagiku jika aku tidur disuatu tempat yang aku rasa kurang
aman dan ada niatan untuk melindungi seseorang, maka tiap jamnya secara
otomatis tubuh ini akan terbangun dengan sendirinya. Seolah sudah menjadi waktu
biologi bagi tubuhku untuk merespon kondisi lingkungan yang kurang aman maka
tubuhku akan terbangun dengan sendirinya.
Akhirnya pagi
pun tiba, waktunya melaksanakan sholat Subuh. Dengan tubuh yang kurang tidur
aku pun menguatkan diri untuk melaksanakan sholat Subuh. Kakek dan nenek pun
juga terlihat sudah mulai terbangun. Sekembalinya dari mushola, aku membeli
sedikit makanan untuk aku makan nanti di dalam kereta. Kembali ke tempat duduk
tadi rupanya kakek sudah pergi ke loket untuk membeli tiket dan nenek terlihat
ingin ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Akhirnya aku pun duduk sendirian
dan menjaga barang bawaan mereka. Setelah nenek kembali, aku pun meminta izin
untuk pergi ke kamar mandi.
Setelah
kembali dari kamar mandi, nenek memanggilku dan menyampaikan bahwa mereka telah
mendapatkan tiket kereta untuk pulang ke Surabaya. Saat itu perasaan senang
terlintas di hatiku. Aku pun mengucapkan syukur serta selamat kepada nenek.
Akhirnya kakek dan nenek dapat kembali pulang ke Gresik hari itu juga. Lalu aku
bertanya pergi kemanakah kakek, dan nenek menjawab bahwa kakek sedang pergi mencari
makanan.
Saat itu waktu
telah menunjukkan pukul 8 kurang, sudah waktuku untuk masuk peron dan menunggu
kedatangan kereta. Kakek pun belum kembali sehingga aku pun hanya berpamitan
kepada nenek. Sebelum pergi aku pun berpesan kepada nenek untuk hati-hati nanti
dijalan dan mendoakan semoga bisa pulang sampai ke Gresik dengan sehat dan
lancar. Setelah berpamitan aku mulai masuk ke peron dan menunggu kereta datang.
Sekali lagi pengalaman yang tak bisa aku lupakan aku dapatkan kembali dari
petualanganku menyelesaikan akademisiku di Jakarta. Aku adalah seorang anak
yang dilahirkan tanpa merasakan kasih sayang seorang kakek ataupun nenek, tapi
pada malam itu aku merasakan kehangatan seorang kakek dan nenek lewat kedua
orang tua tersebut. Sungguh beruntung sekali dan tidak lupa ini semua pastilah
kehendak dari Yang Maha Kuasa. Saat berangkat dari rumah Bu Suwarsono menuju ke
Stasiun Pasar Senen aku tak tahu apa yang harus aku lakukan nantinya. Dan
diatara kebingungaku saat itu, Allah swt menjawabnya dengan mengirimkan kedua
orang tua yang baik hati untuk menemaniku. Dan jam tangan yang aku dapatkan
dari mereka akan selalu mengingatkanku kepada mereka dan menjadi pelajaran
bagiku nantinya ketika aku telah dewasa aku tak akan pernah mencampakkan kedua
orang tuaku seperti itu. Sebisa mungkin akan aku temani mereka hingga mereka
kembali ke rumah dengan sehat walafiat dan aman. Terima kasih, nenek Siti
Komariyah…
tulis semua gung, tulis semua nya hahaha nice one, good job! keep your work!! :)
BalasHapus