Kamis, 05 Desember 2013

Regards to You, Grandfather and Grandmother

            6 hari telah berlalu dan petualangan akademisku di Jakarta sudah pada puncaknya, sore hari tanggal 22 November  di rumah Bu Suwarsono, aku dan teman-temanku bersiap diri untuk menuju ke Stasiun Pasar  Senen. Setelah menyelesaikan urusan keuangan penginapan dan mengantarkan Dwi pulang ke Bekasi karena telah dijemput oleh Saudaranya, aku pun mulai bersiap-siap. Sore itu juga aku dan ke tujuh temanku harus segera menuju ke Stasiun Pasar Senen karena kereta yang akan dinaiki berangkat pada pukul 9 malam. Sebenarnya keretaku masih berangkat di keesokan harinya jam 8 pagi. Tapi entah kenapa aku ingin berangkat bersama dengan teman-teman ke Stasiun Pasar Senen pada malam itu juga.
                Dalam perjalanan menuju ke stasiun dengan menaiki bis P20 aku terus berpikir. Mau kemanakah aku nanti setelah ditinggal teman-temanku? Pergi ke masjid, pergi ke rumah teman, atau tidur di stasiun. Pertanyaan dan acaman selalu terlintas di pikiranku sampai ada pikiran gimana kalau aku kembali ke rumah Bu Suwarsono, tidur semalam lalu besuk paginya berangkat. Semua pikiran itu menggangguku, tapi aku pun mulai memberanikan diri dan mencoba menguatkan diri bahwa keputusanku malam itu berangkat bersama teman-teman ke stasiun sudah tepat. Soal disana mau seperti apa itu urusan nanti.
                Jam 8 kurang akhirnya aku dan ketujuh temanku bersama dengan Fahmi yang mengantar kami sampai di Stasiun Pasar Senen. Rupanya di stasiun sudah ada Adoy, salah satu temanku juga yang akan kembali ke Yogyakarta bersama dengan tujuh teman yang lain. Setelah membeli beberapa ransum di salah satu swalayan dan membeli makanan untuk makan malam kedelapan temanku pun mulai masuk peron dan Fahmi memutuskan untuk pulang. Disaat itulah kebingungan dan keraguan mulai melandaku. Setelah berpisah didepan pintu masuk aku pun memutuskan untuk mencari mushola dan melaksanakan sholat Isya’ sekaligus menjamak sholat Magrib sambil mengamati kondisi stasiun.
                Selesai sholat aku pun mencoba mengamati kondisi sekitar, rupanya memang ada sebuah ruangan yang digunakan sebagai tempat tunggu calon penumpang kereta dan disana sepertinya sudah biasa digunakan sebagai tempat istirahat oleh para calon penumpang yang ingin menaiki kereta malam atau kereta yang berangkat dini hari di keesokan harinya. Aku pun segera menuju kesana dan mengambil tempat duduk di bagian pojok paling belakang tepat dimana sebelahku adalah sepasang orang tua yang sudah kelihatan lanjut usia.
                Sambutan hangat di ucapkan oleh nenek yang duduknya tepat disebelahku. Terlihat pula kakek-kakek disebelah nenek itu bersandar kepada dinding dan matanya mulai terpejam, si kakek terlihat kelelahan sekali. Perutku pun mulai lapar dan aku pun memulai memakan makanan yang telah dibelikan Panji tadi. Aku tawarkan makananku kepada si nenek yang menyapaku, beliau tidak mau karena rupanya beliau sudah makan tadi. Aku pun memulai menyantap makananku dan sambil makan aku pun berbincang-bincang dengan si nenek.
                Rupanya nenek dan kakek ini berasal dari Gresik, Jawa Timut. Beliau baru saja dari rumah anaknya di Banten. Si kakek yang sudah tidak kerasan berlama-lama dirumah sang anak berkeinginan untuk segera pulang ke Gresik sehingga malam itu juga beliau berangkat ke stasiun Pasar Senen. Sayangnya setelah kedua orang tua tersebut sampai di stasiun, tiket kereta untuk perjalanan ke Jakarta – Surabaya telah habis dan kata petugas loket tiket baru akan ada lagi besuk pagi. Oleh karena itu, si kakek dan nenek ini pun memutuskan untuk menginap di stasiun sambil menunggu keesokan harinya untuk membeli tiket. Namun, sekali lagi tiket yang dijanjikan pun sebenarnya juga belum pasti apakah masih ada atau tidak. Selain itu kakek dan nenek pun juga hanya sendirian. Tidak ada sanak saudara atau bahkan anaknya yang menemani di stasiun. Mereka seolah-olah dibiarkan untuk pulang sendirian kembali ke kota Gresik.
                Setelah selesai makan aku pun mulai mengajukan pertanyaan kepada si nenek soal bagaimana jika mereka tidak mendapatkan tiket besuk paginya. Si nenek menjawab dia dan kakek akan berangkat ke terminal untuk pulang dengan bis. Intinya hari itu juga si nenek dan kakek harus segera pulang ke Gresik dengan cara apapun juga. Aku pun merasa sangat kasihan kepada mereka karena mereka harus berjuang sendirian untuk dapat kembali pulang ke rumah sana. Sedangkan tubuh mereka sudah kelihatan sangat tua dan menurutku tidak sepantasnya mereka berada disini. Seharusnya mereka masih ada di rumah beristirahat dengan nyaman lalu keesokan harinya si anak mengantarkan mereka ke stasiun atau terminal untuk bisa pulang kembali ke Gresik, itulah pikirku waktu itu.
                Makanan yang telah selesai aku makan pun akhirnya aku buang ke tempat sampah. Seketika aku kembali ke tempat dudukku setelah membuang sampah, si nenek tiba-tiba menawarkan kepadaku jam tangan si kakek yang sedang dipakainya. Aku pun menanyakan alasan kenapa nenek menawarkan jam tangan tersebut. Dan jawaban si nenek adalah karena mereka sudah tidak memiliki uang lagi dan jika besuk harus berangkat ke Gresik dengan menggunakan bis, uangnya sudah tidak cukup sehingga beliau menawarkan jam tangan tersebut untuk dijual kepadaku dengan harga yang murah sekali. Dalam perasaan kebetulan sekali aku kan sedang mencari jam tangan sebenarnya, jawabku dalam hati. Tapi aku pun menyadari alasan si nenek tersebut sehingga aku pun mencoba mencari tahu latar belakang jam tangan tersebut.
                Rupanya jam tangan tersebut merupakan pemberian dari anaknya. Jam tangan tersebut memiliki mesin yang masih bagus, terbuat dari bahan stainless steel dengan kemampuan water proof maksimal kedalaman 50 meter. Pada awalnya aku sedikit menolak dengan alasan jam tangan tersebut merupakan pemberian dari anaknya kepada si kakek. Takutnya nanti si kakek dimarahi oleh anaknya karena telah menjual barang yang dibelikannya dan dianggap tidak menghargai pemberian anaknya. Tapi si nenek mengatakan bahwa sebenarnya kakek tidak terlalu membutuhkan jam tangan tersebut, dan jika aku nanti tidak mau membelinya juga ndak akan apa – apa. Toh nantinya akan tetep nenek jual ke orang lain. Mendengar perkataan beliau pikirku mulai melayang-layang. Jika dibeli oleh orang lain kemungkinannya akan terjual dengan harga yang lebih murah dibandingkan saat ditawarkan kepadaku. Lalu aku pun menanyakan kembali berapa harga jam tangan tersebut saat dibeli. Nenek tersebut menjawab dengan sedikit keragu-raguan.
                Kini aku dihadapkan dengan pilihan yang sulit, aku tahu kondisi si kakek dan nenek bahwa mereka membutuhkan uang. Aku bisa memberikan kepada mereka dengan cuma-cuma sebesar nominal yang aku bisa. Tapi aku takut hal tersebut membuat hati mereka hancur karena dikiranya nanti aku menganggap mereka seperti pengemis. Akhirnya setelah berpikir-pikir sejenak, aku pun memutuskan membeli jam tersebut dengan harga yang sama dengan harga saat jam itu dibeli dan menambahkan uang lebih saat menyerahkannya kepada si kakek dan nenek dengan harapan semoga uang tersebut dapat bermanfaat dan kakek serta nenek dapat kembali ke Gresik dengan sehat dan aman.
                Malam itu malam yang cukup melelahkan bagiku, kondisi tubuhku sudah mulai drop sedangkan besuk ketika telah sampai di Semarang aku harus segera berangkat ke Jepara dengan menggunakan motor. Otomatis aku harus segera beristirahat malam itu. Mengetahui hal itu si nenek mulai membangunkan si kakek untuk memintanya menata kardus dan koran yang tadinya mereka beli. Si kakek tersebut menata koran dan kardus di depan kursi kami. Setelah selesai, si kakek pun mulai merebahkan diri diatas susunan koran dan kardus tadi. Begitu juga si nenek yang mengikuti perilaku si kakek. Rupanya mereka telah berencana untuk tidur di stasiun dan tidur mereka di atas lantai yang beralaskan koran dan kardus. Lalu si nenek berkata kepadaku untuk tidur di kursi panjang tempat kami duduk, sementara kakek dan nenek tidur di bawah. Sontak aku kaget dan meminta kepada si nenek untuk tidur di kursi saja. Aku pun mencoba mecari-cari alasan untuk menolak permintaan mereka tidur dikursi tersebut. Namun si nenek tetap bersikeras dan akhirnya aku pun mulai mengikuti perintah nenek tersebut.
Ketika kakek dan nenek mulai tertidur aku pun memilih untuk tidak merebahkan tubuhku dan berusaha untuk tetap duduk dan membuka mata. Aku bertekad untuk menjaga kakek dan nenek beserta barang bawaan mereka saat mereka telah tertidur. Dengan kondisi tubuh yang sudah capek, aku mencoba menguatkan diri. Takut jika ada suatu bahaya yang tiba-tiba datang saat itu. Aku pun berusaha tetap membuka mata dengan membaca buku bacaan yang aku bawa sambil terus mengamati lingkungan sekitar stasiun.
Rupanya beginilah kehidupan malam di Stasiun Pasar Senen. Tidak sedikit rupanya orang-orang yang juga ikut tidur di stasiun untuk menunggu kereta pagi yang akan mereka naikki besok harinya. Padahal hari itu adalah hari biasa bukan hari mudik seperti menjelang hari raya Idul Fitri. Aku menyadari bahwa inilah ibukota, kehidupan di ibukota memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota tempat dimana biasanya aku tinggal. Sekali lagi, mataku terbuka kembali melihat kondisi masyarakat negaraku yang dengan sukarela tidur diatas lantai dan kursi untuk menunggu kedatangan kereta yang akan mereka naiki. Keterbatasan yang ada lantas tidak membuat mereka putus asa, tapi dengan ala kadarnya mereka berusaha untuk tetap mempertahan diri dan memperjuangkan kehidupan mereka. Sedangkan mereka para pejabat-pejabat tinggi negara lantas hidup dengan kenikmatan dari apa yang dihasilkan dari jerih payah rakyatnya. Ironis memang, tapi memang beginilah kehidupan lebih tepatnya kehidupan di kota besar. Mungkin tidak hanya di Jakarta, tapi di kota-kota lain pasti juga ada namun aku saja yang belum melihatnya.
Malam semakin larut dan tubuh ini sudah mulai menolak setiap gerekan yang aku perintahkan. Tubuh ini meminta haknya untuk istirahat, mata ini meminta untuk menutupkan kelopak matanya. Akhirnya, aku pun menyerah dan mulai merebahkan diri. Sudah menjadi kebiasaan bagiku jika aku tidur disuatu tempat yang aku rasa kurang aman dan ada niatan untuk melindungi seseorang, maka tiap jamnya secara otomatis tubuh ini akan terbangun dengan sendirinya. Seolah sudah menjadi waktu biologi bagi tubuhku untuk merespon kondisi lingkungan yang kurang aman maka tubuhku akan terbangun dengan sendirinya.
Akhirnya pagi pun tiba, waktunya melaksanakan sholat Subuh. Dengan tubuh yang kurang tidur aku pun menguatkan diri untuk melaksanakan sholat Subuh. Kakek dan nenek pun juga terlihat sudah mulai terbangun. Sekembalinya dari mushola, aku membeli sedikit makanan untuk aku makan nanti di dalam kereta. Kembali ke tempat duduk tadi rupanya kakek sudah pergi ke loket untuk membeli tiket dan nenek terlihat ingin ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Akhirnya aku pun duduk sendirian dan menjaga barang bawaan mereka. Setelah nenek kembali, aku pun meminta izin untuk pergi ke kamar mandi.
Setelah kembali dari kamar mandi, nenek memanggilku dan menyampaikan bahwa mereka telah mendapatkan tiket kereta untuk pulang ke Surabaya. Saat itu perasaan senang terlintas di hatiku. Aku pun mengucapkan syukur serta selamat kepada nenek. Akhirnya kakek dan nenek dapat kembali pulang ke Gresik hari itu juga. Lalu aku bertanya pergi kemanakah kakek, dan nenek menjawab bahwa kakek sedang pergi mencari makanan.

Saat itu waktu telah menunjukkan pukul 8 kurang, sudah waktuku untuk masuk peron dan menunggu kedatangan kereta. Kakek pun belum kembali sehingga aku pun hanya berpamitan kepada nenek. Sebelum pergi aku pun berpesan kepada nenek untuk hati-hati nanti dijalan dan mendoakan semoga bisa pulang sampai ke Gresik dengan sehat dan lancar. Setelah berpamitan aku mulai masuk ke peron dan menunggu kereta datang. Sekali lagi pengalaman yang tak bisa aku lupakan aku dapatkan kembali dari petualanganku menyelesaikan akademisiku di Jakarta. Aku adalah seorang anak yang dilahirkan tanpa merasakan kasih sayang seorang kakek ataupun nenek, tapi pada malam itu aku merasakan kehangatan seorang kakek dan nenek lewat kedua orang tua tersebut. Sungguh beruntung sekali dan tidak lupa ini semua pastilah kehendak dari Yang Maha Kuasa. Saat berangkat dari rumah Bu Suwarsono menuju ke Stasiun Pasar Senen aku tak tahu apa yang harus aku lakukan nantinya. Dan diatara kebingungaku saat itu, Allah swt menjawabnya dengan mengirimkan kedua orang tua yang baik hati untuk menemaniku. Dan jam tangan yang aku dapatkan dari mereka akan selalu mengingatkanku kepada mereka dan menjadi pelajaran bagiku nantinya ketika aku telah dewasa aku tak akan pernah mencampakkan kedua orang tuaku seperti itu. Sebisa mungkin akan aku temani mereka hingga mereka kembali ke rumah dengan sehat walafiat dan aman. Terima kasih, nenek Siti Komariyah…

1 komentar:

  1. tulis semua gung, tulis semua nya hahaha nice one, good job! keep your work!! :)

    BalasHapus

Sebuah Perjalanan Pasti Akan Berakhir

Aku tidak tahu kapan aku memulainya karena dengan demikian aku berharap tidak akan pernah ada akhirnya. Deburan ombak dan hembusan angin s...