Selasa, 31 Desember 2013

Sajadah Langit Biru, Atap Timur Nusantara


“…….Melintasi awan yang bergerumbul di lapisan stratosfer dengan  bertunggangkan burung besi yang mengantarkan aku ke sebuah tanah surga, tempat dimana aku bisa memegang atap langit Timur Nusantara…..”
                Kisah ini bermula dari cerita perjalananku ke Neger Cendrawasih, tempat yang merupakan serpihan surga yang jatuh ke pangkuan Ibu Pertiwi. Perjalananku ke Negeri ini dimulai semenjak perndaratanku di Kab. Sorong, Papua Barat. Inilah kali pertama aku menginjakkan kakiku di tanah Papua. Langit yang cerah tiba-tiba menumpahkan hujannya, seolah-olah memberikan kesan haru atas kedatanganku bersama dengan tim KKN. Indahnya langit kala itu tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Begitu menyentuh hati susunan awan-awan yang tertata rapi di bentaran birunya langit Papua.
                Selama satu hari, tim KKNku akan menginap di Sorong sambil menunggu keberangkatan kapal yang akan mengantarkan kami ke lokasi KKN di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Dalam perjalanan dari bandara ke tempat penginapan di Sorong, aku melihat kehidupan masyarakat Papua secara sekilas dan ternyata kehidupan disana sudah tidak jauh berbeda dengan kondisi di Jawa. Keramaian seperti toko-toko, pasar, dan aktivitas kehidupannya sama seperti yang biasa ditemui di Jawa, hanya yang membedakan adalah kondisi keuangan yang mana disini nilai inflasinya yang cukup tinggi.
                Sampai di rumah tempat menginap dan rupanya kondisinya pun tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah di Jawa. Rumah yang telah berdinding bata dengan berlantaikan keramik. Persis rumah-rumah yang berkembang di Jawa. Dalam benakku rupanya di Sorong tidaklah jauh tertinggal seperti yang ada dibayanganku selama ini. Dan selama semalam aku bersama tim menginap dipenginapan tersebut sambil menunggu kedatangan kapal yang akan berlabuh di pelabuhan Sorong dan berangkat ke Teluk Bintuni besuk siang.
                Keesokan harinya, sekitar pukul 11.00 WITA aku bersama tim berangkat menuju pelabuhan Sorong. Kami akan menaiki kapal untuk menuju ke Kabupaten Sorong. Waktu tempuh dari pelabuhan Sorong ke pelabuhan Teluk Bintuni kurang lebih memakan waktu 18 jam.
                Kapal pun mulai meninggalkan pelabuhan Sorong pada pukul 15.00 WITA, aku beserta sebagian tim duduk di dek lantai dua sedangkan sebagian tim lain ada yang memilih beristirahat di dek bawah. Sore itu awan menata seakan-akan ingin menumpahkan kembali air-air yang terkandung didalamnya. Saat itu aku bersama teman-teman di dek atas bercerita-cerita dan mengobrol bersama dengan para penumpang yang sebagian besar adalah masyarakat Papua. Tidak lupa kami pun juga mengabadikan momen tersebut. Canda tawa dan nyanyian mewarnai kegembiraan di kapal pada saat itu.
                Ketika kapal hampir melewati teluk dan menuju laut lepas, tanpa sengaja aku melihat seekor binatang seperti lumba-lumba dan aku pun berteriak. Sontak seluruh teman-temanku terkejut dan tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Tapi terlepas itu adalah lumba-lumba ataupun bukan aku sangat bersyukur dapat melihat keindahan alam yang dimiliki negeri ini. Selama perjalanan itu aku pun terus berpikir betapa indah dan besarnya kekayaan yang dimiliki oleh negeriku ini. Ragam sukunya, ragam budayanya, dan tentunya sumber alam yang melimpah yang dimiliki negeriku ini.
                Waktu pun beranjak malam, perjalanan kami baru mencapai sepertiganya. Saat itu aku bersama teman-teman yang masih duduk-duduk di dek atas melihat adanya menara api seperti yang ada di film Lord of The Ring , “Menara Mordor” kami menyebutnya. Dan ketika kami menanyakan kepada beberapa masyarakat yang ada di kapal rupanya itu adalah menara milik penambang gas Petro China. Memang disepanjang kepulauan menuju ke Teluk Bintuni telah banyak ditemukan potensi gas alam yang melimpah dan potensi itu pun telah mulai dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang pengeboran gas alam. Sungguh disayangkan, Papua negeri yang kaya akan potensinya harus digali oleh orang-orang yang berasal dari luar. Ironis sekali jika melihat hal demikian.
                Waktu semakin larut, hujan mulai turun dengan lebat dan ombak saat itu mencapai ketinggian yang cukup menggoyangkan kapal sehingga membuat aku dan teman-temanku pusing. Akhirnya aku pun turun ke dek bawah untuk tidur dan sebagian teman-temanku tidur di kamar yang terdapat di dek atas.
                Keesokan harinya, aku bangun dan menuju ke dek atas untuk melaksanakan sholat subuh. Setelah selesai aku membangunkan teman-teman yang masih tertidur dan menuju ke anjungan kapal untuk melihat kondisi sekitar. Sesampainya dianjungan, aku melihat keindahan yang begitu luar biasa. Matahari yang bersinar mulai memunculkan wajahnya dari ufuk Timur dengan diiringi oleh hembusan angin yang sungguh menyejukkan. Inilah bukti keberadaan Allah, inilah bentuk ciptaan Allah Sang Maha Pencipta.
                Tidak hanya itu, ketika matahari telah mencapai sepenggalah, aku bersama teman-temanku melihat penampakan alam yang begitu menakjubkan. Dua buah pelangi muncul sejajar tepat dihadapan kami. Pemandangan yang sangat jarang aku dan teman-temanku temui di Jawa. Dan ketika aku memandang ke langit, tatanan awan seperti begitu dekat dan seolah-olah membuat aku dapat menyentuh langit biru yang dipenuhi dengan rona-rona awan yang begitu indah. Langit Papua, atap Timur Nusantara. Kira-kira siang hari, kapal kami telah sampai di pelabuhan Babo. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjalanan kami untuk mencapai Teluk Bintuni tinggal setengah jalan.

                Dan selama perjalanan dari pelabuhan Babo ke pelabuhan Bintuni, aku pun menghabiskan diri dengan menikmati pemandangan alam dari anjungan depan kapal. Sungguh menyenangkan, angin yang berhembus dan suasana laut yang damai memberikan kesejukan yang membuat hati ini menjadi senang. Aku bersama teman-teman pun menghabiskan waktu dengan berfoto-foto. Dan tidak terasa rupanya kami sudah dekat dengan pelabuhan Bintuni. Akhir perjalanan yang panjang mengarungi lautan Papua telah mencapai puncaknya, kini saatnya bongkar muat barang di pelabuhan Bintuni dan berangkat menuju penginapan sementara di Kabupaten Teluk Bintuni. Selanjutnya, perjalanan mengarungi sungai-sungai di Kabupaten Teluk Bintuni pun akan menyusul di cerita yang lain…

Minggu, 22 Desember 2013

Usia dan Ilmu dalam Generasi Pencari Ilmu

Selama satu bulan kujalani kehidupan sebagai seorang calon pekerja di suatu perusahaan listrik di kota ukir, Jawa Tengah dalam rangkaian menyelesaikan tugas kuliah kerja praktek. Berikut ini sepenggal kisah dari pengalaman hidup yang ingin aku bagikan.
November – Desember merupakan waktu yang aku pilih untuk menemaniku melaksanakan kerja praktek. Selama pelaksanaan kerja praktek telah banyak ilmu yang aku dapatkan khususnya dalam hal pembangkitan listrik tenaga uap dan sistem kelistrikan di Jawa, Madura, dan Bali (JAMALI).

Terhitung sebagai minggu pertama dalam kerja praktek ini, aku telah menemukan pengalaman baru yang sangat menyenangkan. Di masa-masa awal aku sudah mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi site-site di pembangkitan listrik tenaga uap yang terletak di ujung utara Provinsi Jawa Tengah tersebut. Mulai dari CCR (Central Control Room), Jetty, site batubara, site batu kapur, site ash disposal, boiler, dan water threatman plant. Sungguh menarik dapat mengunjungi site PLTU pada awal-awal masa pelaksanaan kerj a praktek. Walaupun demikian, pada minggu kedua hal serupa tidak aku temukan karena pada minggu kedua ini aku harus izin meninggalkan perusahaan untuk melaksanakan praktikum selama satu minggu di Jakarta.

Minggu ketiga di masa kerja praktekhanya aku habiskan dengan mempelajari teori tentang heater dan perhitungan efektifitasnya yang berdasarkan pada ASME PTC 12.1-2000 UN Closed Feedwater Heater. Tidak hal yang menarik dalam pelaksanaan KP di minggu ketiga karena aku hanya menghabiskan waktu-waktuku dengan buku dan literatur dari dunia maya tentang heater.

Minggu terakhir di masa KP yang aku jalani rupanya tidak mengharuskan aku untuk terus menghabiskan waktu di perpustakaan dengan buku-buku literatur. Keberadaan tiga orang Bapak-Bapak pensiunan PJB Gresik di perusahaan tempat aku melaksanakan KP membuat hari-hari terakhir KP ini menjadi semakin menarik.

Ketiga Bapak yang merupakan pensiunan dari PJB Gresik hadir di perusahaan tempat aku menjalani KP atas permintaan dari Pak Bindut salah seorang pegawai. Dulunya ketiga orang tersebut merupakan sahabat Pak Bindut kala di PJB Gresik. Dan sekarang ini ketiga sahabat Pak Bindut tersebut telah pensiun dari tugasnya di PJB Gresik. Karena latar belakang dan pengalaman yang dimiliki oleh ketiga sahabat tersebut telah dikenal oleh Pak Bindut, maka dari itu Pak Bindut mengundang mereka untuk bisa membantu membuat standar log sheet walk down inspection yang belum pernah dilakukan sebelumnya di instansinya sekarang.

Kenyang akan pengalaman membuat Bapak-Bapak tersebut yakin dengan pekerjaan mereka dan dengan senang hati mereka membagikan ilmu-ilmu yang pernah mereka dapatkan selama bekerja di pembangkitan dulunya. Ketika tiba saat pelaksanaan walkdown, secara tidak sengaja aku di ajak bersama dengan dua pegawai lainnya yang bersama-sama belajar melaksanakan waldown inspection dan cara mengisi worksheet yang telah dibuat oleh Bapak-Bapak tersebut.

Selama pelaksanaan walkdown, banyak kolom-kolom dalam worksheet yang masih belum sesuai dengan data yang ada di lapangan. Walau demikian walkdown tetap dilaksanakan dan Bapak-Bapak tersebut dengan enjoy menikmati pelaksanaan walkdown sambil membagikan ilmunya kepadaku dan dua pegawai yang ikut melaksanakan walkdown. Dalam pelaksanaan walkdown, kami mengililingi seluruh site dengan mencatat kondisi pada komponen-komponen tersebut. Mulai dari mencatat suhu operasi, pengechekan vibrasi, tekanan, dll diseluruh komponen termasuk pada bagian transfomator dan generator.

Sekembalinya dari pelaksanaan walkdown, ketiga Bapak tersebut pun mulai memperbaiki worksheet yang masih kurang lengkap datanya dengan kondisi yang ada dilapangan. Perlu diketahui bahwa pembuatan worksheet walkdown inspection yang dibuat oleh ketiga Bapak tersebut berdasarkan pada data alat dan komponen yang terdapat di perpustakaan yang tebalnya kurang lebih ada 500-600 halaman dan Bapak-Bapak tersebut menyusun berdasarkan pada P&ID yang gamarnya begitu kecil-kecil.

Meskipun sudah tua, namun etos kerja yang dimiliki oleh Bapak-Bapak tersebut sangat tinggi. Seolah-olah umur bukanlah menjadi hambatan bagi mereka demi membantu teman dan berbagi ilmunya kepada pegawai-pegawai baru yang belum memiliki pengalaman akan hal tersebut. Semangat yang seharusnya dapat aku tiru dan aku terapkan dalam kehidupanku. Sungguh malu jika aku melihat umurku yang masih relatif muda dan masuk dalam kategori usia produktif namun yang aku lakukan hanya duduk-duduk, bermain game yang belum tentu memberikan manfaat secara langsung untuk diriku atau pun untuk lingkungan sekitarku. Sedangkan ketika aku melihat ketiga Bapak tersebut, mereka telah berusia lanjut tapi usia itu tidak menjadi hambatan untuk mereka. Seolah bagi mereka ilmu itu harus terus mengalir dan diberikan kepada generasi selanjutnya agar dapat memberikan kebermanfaatan bagi sesamanya. Pelajaran yang berharga kali ini aku dapatkan bahwa umur bukanlah suatu halangan untuk bisa berkarya dan ilmu bukanlah sesuatu yang hanya bisa kita miliki sendiri karena hakikat ilmu adalah suatu pengetahuan yang menjadi hak untuk dapat dimiliki oleh orang lain. Jika ilmu itu tidak diwariskan, maka akan menjadi seperti apa generasi penerus kita nantinya. Jadi, wariskanlah ilmu yang bermanfaat yang telah engkau dapatkan dan janganlah berhenti berkarya jika usia belum habis. Inilah penutup dari pengalamanku menjalani kerja praktek di PT PLN Pembangkitan Tanjung Jati B, Jepara. Semoga dapat memberikan inspirasi bagi kalian dan menambah ilmu serta manfaat untuk para pembaca. Salam ilmu, salam kemuliaan, dipersembahkan kepada para pencari ilmu…..



Sabtu, 07 Desember 2013

Si Kecil yang Menginspirasi dari Perilakunya

Seorang bocah yang masih berumur 8 tahun ini sudah memukau mantan pelatih Barcelona, Pep Guardiola pun menyatakan ketertarikannya pada anak yang memiliki nama Tristan Alif Naufal. Tristan adalah seorang anak jebolan Sekolah Sepak Bola Liverpol (LFC) yang memiliki bakat yang istimewa dalam mengolah si kulit bundar. Berkat kemampuannya yang sungguh impressif, tim-tim besar seperti Liverpool, Barcelona, dan Ajax Amsterdam pun mulai menarik perhatian padanya. Dan perlu diketahui, baru-baru ini Tristan telah mendapatkan undangan dari Ajax Amsterdam untuk melaksanakan trial selama seminggu di negeri kincir angin tersebut. Sebuah prestasi yang sungguh membanggakan tentunya bagi Tristan dan kedua orang tuanya serta tentunya mengharumkan nama Bangsa Indonesia
Hal yang bisa dimaknai dari sini adalah tiap orang telah diciptakan oleh Allah swt dalam keadaan sebaik-baik penciptaanya. Sehingga sudah patutlah kita untuk senantiasa bersyukur kepada Allah swt karena telah menciptakan kita sedemikian rupa karena inilah yang terbaik dari penciptaan kita. Soal prestasi dan peluang itu adalah sesuatu yang kita usahakan, ingat sesuatu yang kita usahakan! Adik kita Tristan bisa memiliki kesempatan bermain di negeri Belanda juga karena usaha dan kecintaanya pada sepak bola. Dari usaha dan kecintaanya pada sepak bola akhirnya Tristan berhasil menarik klub-klub besar Eropa untuk melirik dia di usia yang masih sangat belianya.
So, mari belajar dari adik kita ini. Tidak ada batasan umur dalam meraih prestasi, intinya adalah cinta dan usaha. Cintailah apa yang kau suka dan usahakan dengan kerja keras dan biarlah orang tahu bahwa itu kamu sehingga peluang dan prestasi akan terbuka dengan sendirinya.

Tulisan ini di dedikasikan untuk menginpirasi teman-teman generasi muda Indonesia bahwa tidak ada yang tidak mungkin walaupun usia ini tidak semuda atau mungkin lebih muda dari adik kita, Tristan.

Kamis, 05 Desember 2013

Regards to You, Grandfather and Grandmother

            6 hari telah berlalu dan petualangan akademisku di Jakarta sudah pada puncaknya, sore hari tanggal 22 November  di rumah Bu Suwarsono, aku dan teman-temanku bersiap diri untuk menuju ke Stasiun Pasar  Senen. Setelah menyelesaikan urusan keuangan penginapan dan mengantarkan Dwi pulang ke Bekasi karena telah dijemput oleh Saudaranya, aku pun mulai bersiap-siap. Sore itu juga aku dan ke tujuh temanku harus segera menuju ke Stasiun Pasar Senen karena kereta yang akan dinaiki berangkat pada pukul 9 malam. Sebenarnya keretaku masih berangkat di keesokan harinya jam 8 pagi. Tapi entah kenapa aku ingin berangkat bersama dengan teman-teman ke Stasiun Pasar Senen pada malam itu juga.
                Dalam perjalanan menuju ke stasiun dengan menaiki bis P20 aku terus berpikir. Mau kemanakah aku nanti setelah ditinggal teman-temanku? Pergi ke masjid, pergi ke rumah teman, atau tidur di stasiun. Pertanyaan dan acaman selalu terlintas di pikiranku sampai ada pikiran gimana kalau aku kembali ke rumah Bu Suwarsono, tidur semalam lalu besuk paginya berangkat. Semua pikiran itu menggangguku, tapi aku pun mulai memberanikan diri dan mencoba menguatkan diri bahwa keputusanku malam itu berangkat bersama teman-teman ke stasiun sudah tepat. Soal disana mau seperti apa itu urusan nanti.
                Jam 8 kurang akhirnya aku dan ketujuh temanku bersama dengan Fahmi yang mengantar kami sampai di Stasiun Pasar Senen. Rupanya di stasiun sudah ada Adoy, salah satu temanku juga yang akan kembali ke Yogyakarta bersama dengan tujuh teman yang lain. Setelah membeli beberapa ransum di salah satu swalayan dan membeli makanan untuk makan malam kedelapan temanku pun mulai masuk peron dan Fahmi memutuskan untuk pulang. Disaat itulah kebingungan dan keraguan mulai melandaku. Setelah berpisah didepan pintu masuk aku pun memutuskan untuk mencari mushola dan melaksanakan sholat Isya’ sekaligus menjamak sholat Magrib sambil mengamati kondisi stasiun.
                Selesai sholat aku pun mencoba mengamati kondisi sekitar, rupanya memang ada sebuah ruangan yang digunakan sebagai tempat tunggu calon penumpang kereta dan disana sepertinya sudah biasa digunakan sebagai tempat istirahat oleh para calon penumpang yang ingin menaiki kereta malam atau kereta yang berangkat dini hari di keesokan harinya. Aku pun segera menuju kesana dan mengambil tempat duduk di bagian pojok paling belakang tepat dimana sebelahku adalah sepasang orang tua yang sudah kelihatan lanjut usia.
                Sambutan hangat di ucapkan oleh nenek yang duduknya tepat disebelahku. Terlihat pula kakek-kakek disebelah nenek itu bersandar kepada dinding dan matanya mulai terpejam, si kakek terlihat kelelahan sekali. Perutku pun mulai lapar dan aku pun memulai memakan makanan yang telah dibelikan Panji tadi. Aku tawarkan makananku kepada si nenek yang menyapaku, beliau tidak mau karena rupanya beliau sudah makan tadi. Aku pun memulai menyantap makananku dan sambil makan aku pun berbincang-bincang dengan si nenek.
                Rupanya nenek dan kakek ini berasal dari Gresik, Jawa Timut. Beliau baru saja dari rumah anaknya di Banten. Si kakek yang sudah tidak kerasan berlama-lama dirumah sang anak berkeinginan untuk segera pulang ke Gresik sehingga malam itu juga beliau berangkat ke stasiun Pasar Senen. Sayangnya setelah kedua orang tua tersebut sampai di stasiun, tiket kereta untuk perjalanan ke Jakarta – Surabaya telah habis dan kata petugas loket tiket baru akan ada lagi besuk pagi. Oleh karena itu, si kakek dan nenek ini pun memutuskan untuk menginap di stasiun sambil menunggu keesokan harinya untuk membeli tiket. Namun, sekali lagi tiket yang dijanjikan pun sebenarnya juga belum pasti apakah masih ada atau tidak. Selain itu kakek dan nenek pun juga hanya sendirian. Tidak ada sanak saudara atau bahkan anaknya yang menemani di stasiun. Mereka seolah-olah dibiarkan untuk pulang sendirian kembali ke kota Gresik.
                Setelah selesai makan aku pun mulai mengajukan pertanyaan kepada si nenek soal bagaimana jika mereka tidak mendapatkan tiket besuk paginya. Si nenek menjawab dia dan kakek akan berangkat ke terminal untuk pulang dengan bis. Intinya hari itu juga si nenek dan kakek harus segera pulang ke Gresik dengan cara apapun juga. Aku pun merasa sangat kasihan kepada mereka karena mereka harus berjuang sendirian untuk dapat kembali pulang ke rumah sana. Sedangkan tubuh mereka sudah kelihatan sangat tua dan menurutku tidak sepantasnya mereka berada disini. Seharusnya mereka masih ada di rumah beristirahat dengan nyaman lalu keesokan harinya si anak mengantarkan mereka ke stasiun atau terminal untuk bisa pulang kembali ke Gresik, itulah pikirku waktu itu.
                Makanan yang telah selesai aku makan pun akhirnya aku buang ke tempat sampah. Seketika aku kembali ke tempat dudukku setelah membuang sampah, si nenek tiba-tiba menawarkan kepadaku jam tangan si kakek yang sedang dipakainya. Aku pun menanyakan alasan kenapa nenek menawarkan jam tangan tersebut. Dan jawaban si nenek adalah karena mereka sudah tidak memiliki uang lagi dan jika besuk harus berangkat ke Gresik dengan menggunakan bis, uangnya sudah tidak cukup sehingga beliau menawarkan jam tangan tersebut untuk dijual kepadaku dengan harga yang murah sekali. Dalam perasaan kebetulan sekali aku kan sedang mencari jam tangan sebenarnya, jawabku dalam hati. Tapi aku pun menyadari alasan si nenek tersebut sehingga aku pun mencoba mencari tahu latar belakang jam tangan tersebut.
                Rupanya jam tangan tersebut merupakan pemberian dari anaknya. Jam tangan tersebut memiliki mesin yang masih bagus, terbuat dari bahan stainless steel dengan kemampuan water proof maksimal kedalaman 50 meter. Pada awalnya aku sedikit menolak dengan alasan jam tangan tersebut merupakan pemberian dari anaknya kepada si kakek. Takutnya nanti si kakek dimarahi oleh anaknya karena telah menjual barang yang dibelikannya dan dianggap tidak menghargai pemberian anaknya. Tapi si nenek mengatakan bahwa sebenarnya kakek tidak terlalu membutuhkan jam tangan tersebut, dan jika aku nanti tidak mau membelinya juga ndak akan apa – apa. Toh nantinya akan tetep nenek jual ke orang lain. Mendengar perkataan beliau pikirku mulai melayang-layang. Jika dibeli oleh orang lain kemungkinannya akan terjual dengan harga yang lebih murah dibandingkan saat ditawarkan kepadaku. Lalu aku pun menanyakan kembali berapa harga jam tangan tersebut saat dibeli. Nenek tersebut menjawab dengan sedikit keragu-raguan.
                Kini aku dihadapkan dengan pilihan yang sulit, aku tahu kondisi si kakek dan nenek bahwa mereka membutuhkan uang. Aku bisa memberikan kepada mereka dengan cuma-cuma sebesar nominal yang aku bisa. Tapi aku takut hal tersebut membuat hati mereka hancur karena dikiranya nanti aku menganggap mereka seperti pengemis. Akhirnya setelah berpikir-pikir sejenak, aku pun memutuskan membeli jam tersebut dengan harga yang sama dengan harga saat jam itu dibeli dan menambahkan uang lebih saat menyerahkannya kepada si kakek dan nenek dengan harapan semoga uang tersebut dapat bermanfaat dan kakek serta nenek dapat kembali ke Gresik dengan sehat dan aman.
                Malam itu malam yang cukup melelahkan bagiku, kondisi tubuhku sudah mulai drop sedangkan besuk ketika telah sampai di Semarang aku harus segera berangkat ke Jepara dengan menggunakan motor. Otomatis aku harus segera beristirahat malam itu. Mengetahui hal itu si nenek mulai membangunkan si kakek untuk memintanya menata kardus dan koran yang tadinya mereka beli. Si kakek tersebut menata koran dan kardus di depan kursi kami. Setelah selesai, si kakek pun mulai merebahkan diri diatas susunan koran dan kardus tadi. Begitu juga si nenek yang mengikuti perilaku si kakek. Rupanya mereka telah berencana untuk tidur di stasiun dan tidur mereka di atas lantai yang beralaskan koran dan kardus. Lalu si nenek berkata kepadaku untuk tidur di kursi panjang tempat kami duduk, sementara kakek dan nenek tidur di bawah. Sontak aku kaget dan meminta kepada si nenek untuk tidur di kursi saja. Aku pun mencoba mecari-cari alasan untuk menolak permintaan mereka tidur dikursi tersebut. Namun si nenek tetap bersikeras dan akhirnya aku pun mulai mengikuti perintah nenek tersebut.
Ketika kakek dan nenek mulai tertidur aku pun memilih untuk tidak merebahkan tubuhku dan berusaha untuk tetap duduk dan membuka mata. Aku bertekad untuk menjaga kakek dan nenek beserta barang bawaan mereka saat mereka telah tertidur. Dengan kondisi tubuh yang sudah capek, aku mencoba menguatkan diri. Takut jika ada suatu bahaya yang tiba-tiba datang saat itu. Aku pun berusaha tetap membuka mata dengan membaca buku bacaan yang aku bawa sambil terus mengamati lingkungan sekitar stasiun.
Rupanya beginilah kehidupan malam di Stasiun Pasar Senen. Tidak sedikit rupanya orang-orang yang juga ikut tidur di stasiun untuk menunggu kereta pagi yang akan mereka naikki besok harinya. Padahal hari itu adalah hari biasa bukan hari mudik seperti menjelang hari raya Idul Fitri. Aku menyadari bahwa inilah ibukota, kehidupan di ibukota memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota tempat dimana biasanya aku tinggal. Sekali lagi, mataku terbuka kembali melihat kondisi masyarakat negaraku yang dengan sukarela tidur diatas lantai dan kursi untuk menunggu kedatangan kereta yang akan mereka naiki. Keterbatasan yang ada lantas tidak membuat mereka putus asa, tapi dengan ala kadarnya mereka berusaha untuk tetap mempertahan diri dan memperjuangkan kehidupan mereka. Sedangkan mereka para pejabat-pejabat tinggi negara lantas hidup dengan kenikmatan dari apa yang dihasilkan dari jerih payah rakyatnya. Ironis memang, tapi memang beginilah kehidupan lebih tepatnya kehidupan di kota besar. Mungkin tidak hanya di Jakarta, tapi di kota-kota lain pasti juga ada namun aku saja yang belum melihatnya.
Malam semakin larut dan tubuh ini sudah mulai menolak setiap gerekan yang aku perintahkan. Tubuh ini meminta haknya untuk istirahat, mata ini meminta untuk menutupkan kelopak matanya. Akhirnya, aku pun menyerah dan mulai merebahkan diri. Sudah menjadi kebiasaan bagiku jika aku tidur disuatu tempat yang aku rasa kurang aman dan ada niatan untuk melindungi seseorang, maka tiap jamnya secara otomatis tubuh ini akan terbangun dengan sendirinya. Seolah sudah menjadi waktu biologi bagi tubuhku untuk merespon kondisi lingkungan yang kurang aman maka tubuhku akan terbangun dengan sendirinya.
Akhirnya pagi pun tiba, waktunya melaksanakan sholat Subuh. Dengan tubuh yang kurang tidur aku pun menguatkan diri untuk melaksanakan sholat Subuh. Kakek dan nenek pun juga terlihat sudah mulai terbangun. Sekembalinya dari mushola, aku membeli sedikit makanan untuk aku makan nanti di dalam kereta. Kembali ke tempat duduk tadi rupanya kakek sudah pergi ke loket untuk membeli tiket dan nenek terlihat ingin ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Akhirnya aku pun duduk sendirian dan menjaga barang bawaan mereka. Setelah nenek kembali, aku pun meminta izin untuk pergi ke kamar mandi.
Setelah kembali dari kamar mandi, nenek memanggilku dan menyampaikan bahwa mereka telah mendapatkan tiket kereta untuk pulang ke Surabaya. Saat itu perasaan senang terlintas di hatiku. Aku pun mengucapkan syukur serta selamat kepada nenek. Akhirnya kakek dan nenek dapat kembali pulang ke Gresik hari itu juga. Lalu aku bertanya pergi kemanakah kakek, dan nenek menjawab bahwa kakek sedang pergi mencari makanan.

Saat itu waktu telah menunjukkan pukul 8 kurang, sudah waktuku untuk masuk peron dan menunggu kedatangan kereta. Kakek pun belum kembali sehingga aku pun hanya berpamitan kepada nenek. Sebelum pergi aku pun berpesan kepada nenek untuk hati-hati nanti dijalan dan mendoakan semoga bisa pulang sampai ke Gresik dengan sehat dan lancar. Setelah berpamitan aku mulai masuk ke peron dan menunggu kereta datang. Sekali lagi pengalaman yang tak bisa aku lupakan aku dapatkan kembali dari petualanganku menyelesaikan akademisiku di Jakarta. Aku adalah seorang anak yang dilahirkan tanpa merasakan kasih sayang seorang kakek ataupun nenek, tapi pada malam itu aku merasakan kehangatan seorang kakek dan nenek lewat kedua orang tua tersebut. Sungguh beruntung sekali dan tidak lupa ini semua pastilah kehendak dari Yang Maha Kuasa. Saat berangkat dari rumah Bu Suwarsono menuju ke Stasiun Pasar Senen aku tak tahu apa yang harus aku lakukan nantinya. Dan diatara kebingungaku saat itu, Allah swt menjawabnya dengan mengirimkan kedua orang tua yang baik hati untuk menemaniku. Dan jam tangan yang aku dapatkan dari mereka akan selalu mengingatkanku kepada mereka dan menjadi pelajaran bagiku nantinya ketika aku telah dewasa aku tak akan pernah mencampakkan kedua orang tuaku seperti itu. Sebisa mungkin akan aku temani mereka hingga mereka kembali ke rumah dengan sehat walafiat dan aman. Terima kasih, nenek Siti Komariyah…

Rain to West, The Destination Which Unforgettable

                
Sabtu, 16 November 2013 merupakan awal dari langkah perjalanan yang aku lakukan. Dengan niat berangkat pagi agar dapat melakukan wisata atau bisa dikatakan jalan-jalan di kota Semarang rupanya harus ditunda. Sepertinya Allah swt memiliki rencana lain untukku sehingga aku pun harus bertahan lebih lama di kos untuk menunggu hujan reda karena pagi itu hujan terus mengguyur kota ukir. Pukul 11.00 hujan masih saja mengguyu kota Jepara dengan intensitas yang cukup lebat. Akhirnya aku pun memutuskan untuk berangkat ke Semarang setelah melaksanakan sholat dzuhur dengan harapan hujan sudah mulai reda. Adzan pun telah berkumandang dan segera aku laksanakan sholat dzuhur untuk bermunajat kepada Rabbku. Namun, harapan yang telah aku panjatkan sepertinya harus ditunda. Mungkin Allah swt ingin aku lebih bersyukur terhadap berkah hujan yang telah Dia berikan untuk masyarakat Kota Jepara. Meskipun demikian, tekadku untuk berangkat ke Semarang tidaklah runtuh. Aku beranikan diri menembus hujan dan melakukan perjalanan ke Semarang dengan menggunakan sepeda motorku.
                Ini adalah perjalanan jauh pertamaku ke kota orang yang tidak aku kenal dan tidak memiliki tempat tujuan selain stasiun kereta api dalam keadaan hujan. Dengan berbekal kehati-hatian dari pengalaman yang lalu, aku melintasi jalanan Kota Jepara – Demak – Semarang. Pengalaman yang mengesankan dan menarik, itulah yang aku rasakan.
                Sekitar pukul dua siang rupanya aku telah sampai di Kota Semarang. Masih ada banyak waktu yang bisa dihabiskan di kota ini karena kereta yang akan aku naikki untuk menuju ke Jakarta berangkat pada pukul 19.00. Akhirnya aku pun menuju ke warung makan didekat stasiun untuk istirahat dan menghangatkan diri dengan makan siang. Selesai menyantap makan siang aku lanjutkan perjalanan menuju ke Masjid Agung Kota Semarang karena waktu sudah masuk ibadah sholat Ashar.
                Untungnya perjalanan dari Stasiun Poncol ke Masjid Agung Kota Semarang sudah cukup hafal karena pernah diantar oleh sahabatku Rizki saat mampir ke Semarang minggu lalu sebelum berangkat ke Jepara. Langsung saja aku menuju ke Masjid Agung untuk istirahat, membersihkan diri dan beribadah.
                Sampai di Masjid Agung, aku melihat ada tenda-tenda berdiri di simpang lima, ada apa gerangan disana. Itulah pertanyaan yang ada di hatiku. Akhirnya aku memutuskan untuk mampir setelah selesai melakukan kewajiban-kewajibanku di Masjid Agung Kota Semarang.
                Mandi sudah, sholat sudah, dan sekarang waktunya istirahat sambil menghubungi teman-teman yang juga akan berangkat ke Jakarta dari Stasiun Lempuyangan Yogyakarta dan teman-teman yang lain untuk mengetahui keadaan dan kapan mereka akan sampai di Jakarta. Setelah mengetahui kondisi teman-teman dan dirasa telah cukup istirahat akhirnya aku menuju ke simpang lima untuk mengetahui ada apa sebenarnya disana.
                Sesampainya di simpang lima, rupanya aku baru tahu bahwa tenda-tenda yang berdiri rupanya adalah stand-stand dari berbagai kecamatan di Kota Semarang yang sedang memamerkan hasil karya daerahnya dalam acara Bazar UMKM 2013. Menarik, seperti halnya sekaten di Yogya. Aku pun memutuskan untuk berkeliling sambil menghabiskan waktu untuk keberangkatanku ke Jakarta. Barangkali ada barang yang sedang aku cari sehingga bisa aku beli disini.
                Sambil berkomunikasi dengan teman yang sedang ada di Kamojang, aku pun berkeliling ke stand-stand bazar tersebut. Dan ternyata memang ada, yakni stand jam tangan. Setelah melihat-lihat dan menanyakan tentang harga, ada keinginan untuk membeli sebuah jam tangan. Mumpung harganya cukup murah. Namun, setelah dilihat baik-baik lagi jam yang ingin aku beli rupanya tidak sebanding untuk harga dan kualitas jam tangan tersebut. Akhirnya aku pun tidak jadi membeli jam tangan dan kembali melihat-lihat stand UMKM yang ada.
                Ada lagi stand yang menarik perhatianku, yakni stand yang menjajakan makanan-makanan ringan. Bukan makanannya yang membuatku tertarik untuk mampir ke stand tersebut dan mengincipi makanan disana. Namun nama makanannya yang lucu dan seru, namanya adalah “Kue Tawa”. Secara fisik makanan tersebut memang seperti wajah orang tertawa karena dibuat seperti berbentuk kepala dengan bibir yang tertawa. Setelah mengincipi beberapa sampel makanan, aku pun lanjut berkeliling lagi. Banyak hal yang menarik dari pameran ini, seperti adanya stand salah satu perusahaan rokok yang berada di tengah-tengah halaman dengan warna mencolok sehingga cukup menarik perhatian pengunjung. Sayangna di pintu masuk ada tulisan “Hanya yang beriusia 18+ boleh masuk stand”. Lalu ada bapak-bapak yang memamerkan hasil karya lukisan dari kulit pohon pisang yang sudah tua. Hasilnya menakjubkan, hanya dengan degradasi warna tua dari kulit pohon bapak tersebut bisa menghasilkan sebuah lukisan yang luar biasa. Selain itu juga ada hasil karya dari ibu-ibu yang menjual vas bunga yang dibuat dari kertas koran bekas yang dipilin dan dibuat bentuk vas. Dan ternyata vas tersebut dijual dan harganya juga lumayan bersaing juga. Dalam hati aku pun berpikir, kalau dulu di racana Mbak Tutut pernah mengajak membuat yang kayak gitu tapi ga ada niatan untuk dijual, mungkin jika terus dilanjutkkan bisa jadi penghasilan buat racana.
                Tanpa sadar rupanya aku sudah menghabiskan waktu kurang lebih satu jam berkeliling bazar dan rupanya ada pesan masuk dari temanku. Sebelum meninggalkan bazar aku pun menanyakan kepada temanku mau dibawakan oleh-oleh apa dari Semarang untuk di Jakarta nanti. Dia meminta dibawakan makanan saja biar bisa di makan rame-rame nantinya. Permintaan dia mengingatkanku pada kue tawa yang tadi aku lewati. Akhirnya aku kembali dan membeli kue tawa tersebut dan sebuah kue brownies coklat untuk dia.
                Pukul lima lebih, oleh-oleh sudah dapat jadi sekarang waktunya meninggalkan simpang lima dan meluncur ke stasiun poncol. Sesampainya disana aku langsung menuju mushola  untuk bersiap sholat Magrib dan menjamak sholat Isya’. Selesai, aku langsung naik kereta Tawang Jaya dan mencari tempat duduk di gerbong satu sesuai dengan nomor yang ada di tiketku. Jam 19.00 kereta pun berangkat dan aku akhiri petualanganku di Semarang dengan senang karena aku menyadari mungkin inilah yang ingin Allah swt tunjukkan padaku. Aku berniat jalan-jalan di Kota Semarang dan Allah swt mengabulkannya dengan memberikan waktu kepadaku untuk bisa mengunjungi stand bazar UMKM yang dihadiri oleh sebagian besar kecamatan yang ada di Semarang. Serasa telah mengelilingi Kota Semarang hanya dalam waktu sehari sekaligus merasakan dan mengetahui produk unggulan dari masing-masing kecamatan di Kota Semarang.
                Tidak hanya itu, selama dalam perjalanan pun aku juga mendapatkan suatu pelajaran yang menarik. Tepat didepan tempatku duduk ada sepasang orang tua yang kelihatannya sudah berumur diatas 40 tahun. Mereka berdua hendak menuju ke Bekasi mengunjungi sanak saudara disana. Aku tahu saat itu sudah malam dan dengan kondisi kursi tegap yang dimiliki kereta ekonomi membuat usaha untuk istirahat menjadi semakin sulit. Aku yang sudah merasa capek berusaha untuk beristirahat dengan kondisi seadanya. Setelah mendapatkan posisi yang tepat, aku pun perlahan mulai memejamkan mata. Tapi sebelum itu aku coba melemparkan pandanganku kepada kedua orang tua tersebut dan aku pun cukup dibuat iri oleh mereka. Karena sang Bapak dengan sabar merelakan bahu dan pahanya digunakan sebagai sandaran untuk tidur sang Ibu. Padahal sang Bapak hanya bisa duduk tegap seperti tentara-tentara ketika menghadiri upacara militer di ruang tertutup. Senang bisa melihat hal tersebut, setelah itu pun aku memejamkan mata. Satu jam berikutnya aku terbangun, memang kebiasaan bagiku jika sedang dalam perjalanan jauh aku selalu terbangun tiap jamnya. Aku pun melihat kembali ke kedua orang tua tersebut, dan sekali lagi aku melihat sang Bapak dengan mata tetap terjaga menjadi sandaran bagi sang Ibu. Aku mulai berpikir, apakah Bapak tersebut tidak capek. Dia terus duduk tegap dan dengan ikhlas menjadi semacam bantal bagi istrinya.

                Dan tiap kali aku terbangun, kondisi serupa selalu aku lihat saat pandangan mataku aku tujukan kepada kedua orang tua tersebut. Aku pun salut kepada sang Bapak yang sampai di Stasiun Bekasi masih tetap duduk tegap tanpa kenal lelah dengan mata yang selalu terjaga. Akhirnya mereka pun turun di Stasiun Bekasi. Aku pun mulai berpikir, mungkin juga sebuah pelajaran bagiku bahwa menjadi seorang laki-laki harus bisa melindungi orang yang ada disekitarnya khususnya orang-orang yang dicintainya dan siap jika harus merelakan tubuhnya demi kepentingan orang-orang tersebut. Aku pun bersyukur karena mendapatkan pelajaran yang berharga selama perjalananku dari Jepara – Semarang – Jakarta. Terima kasih kepada Allah swt yang telah membukakan mata hatiku dan memberikan pelajaran hidup yang mungkin tidak akan bisa aku dapatkan dari sebuah bangku di ruang kelas. Dan pukul tiga dini hari kereta telah sampai di Stasiun Pasar Senen. Kini petualangan akademisku selama 6 hari di Jakarta pun dimulai.

Sebuah Perjalanan Pasti Akan Berakhir

Aku tidak tahu kapan aku memulainya karena dengan demikian aku berharap tidak akan pernah ada akhirnya. Deburan ombak dan hembusan angin s...