Bulan Mei
dalam dua tahun ini merupakan bulan-bulan yang menyenangkan sekaligus menjadi
bulan yang menyedihkan bagiku. Tepat menjelang beberapa hari genap satu tahun
wisudaku, ayahandaku tercinta dipanggil kehadirat Allah swt. Kesedihan sangat
menimpaku karena tepat sebelum beliau dipanggil, firasat tersebut muncul
terlebih dahulu melalui sebuah mimpi dan berselang beberapa menit kemudian
ayahku sudah tiada. Walaupun demikian, aku cukup senang dan ikhlas karena dapat
mendampingimu, mendoakanmu, memandikanmu, menyolatimu, dan ikut menguburkan
engkau wahai ayahandaku di detik-detik kepergianmu. Mungkin inilah rencana
Allah swt. yang dipersiapkan untukku, belum mengijinkanku bekerja karena harus
menjalakan kewajibanku terhadapmu wahai ayahanda. Untuk itu, izinkanlah aku
ayahanda untuk menuliskan secarik surat untukmu. Semoga engkau mengetahui apa
isi hatiku sejak kecil hingga aku dewasa sekarang.
Terlahir
sebagai putra kedua dari pasangan ayah dan ibu yang hidup dalam kesederahanaan
membuatku tumbuh dengan keinginan membahagiakan kedua orang tuaku. Apakah kau
tahu ayahanda, sesungguhnya sejak kecil aku merasa iri terhadap
saudara-saudaraku, baik kakak ataupun adikku. Keirianku hanyalah karena hal
sepele, yakni ulang tahun. Engkau dan Ibu pernah merayakan ulang tahun kakak
ketika masih kecil dan Engkau pun selalu menuruti permintaan adik setiap kali
meminta barang baru. Sedangkan aku, sejak kecil aku harus belajar menabung
untuk bisa membeli barang yang aku inginkan. Kadangkali aku harus meminta-minta
ke Bibi jika engkau tidak berkenan membelikan. Bahkan masih teringat dibenakku,
untuk bisa membeli sebuah memory card,
aku pun harus berpura-pura memainkan peran sebagai seorang teller bank, meminta
tanda tanganmu dan sepulang sekolah mengambil uang tabunganku sendiri karena
aku yakin engkau tak akan mau membelikannya untukku.
Kakak
dan adikku sepertinya adalah dua orang yang paling engkau sayang, jarang sekali
engkau marah kepada mereka sedangkan padaku engkau marah dengan sangat kerasnya
sampai aku masih teringat kemarahanmu saat aku bermain-main di sebuah toko baju
dan hingga kini pun masih berbekas didalam ingatanku.
Wahai
ayahku, tahukah engkau bahwa semenjak aku kecil, kita sudah beberda pandangan.
Teringat padaku saat-saat aku akan memasuki SMP. Dengan tegun engkau ingin aku
masuk ke SMPN 3 Kediri mengikuti jejakmu dan kakak, namun aku tetap bersikukuh
untuk masuk ke SMPN 1 Kediri. Berbagai alasan coba engkau sampaikan namun aku
tetap keras kepala dengan pilihanku. Dan pada akhirnya aku mampu membuktikan kepadamu bahwa aku bias
melakukan hal lebih disini. Aku mampu berprestasi baik di dalam kelas atau pun
diluar kelas. Gelar juara kelas selalu bisa aku raih tiap semesternya dan aku
pun juga menjadi murid yang spesial dihadapan para guru-guru. Engkau lihatkan Ayahanda,
aku mampu dan aku bisa berbuat lebih dari yang pernah engkau khawatirkan.
Dan
semenjak hari itu, engkau pun mulai mempercayai anakmu ini. Engkau mulai
mempercayai diriku dengan sepenuhnya dan mendukungku dalam setiap kegiatan dan
pilihan sekolah yang ingin aku masuki. Menginjak usia SMA, dan aku pun berhasil
masuk ke program akselerasi yang
memberikan kesempatan padaku untuk dapat menyelesaikan masa sekolah
SMAku dalam dua tahun.
Dalam
kondisi keluarga cukupan, engkau pun tetap berusaha memenuhi kebutuhanku
padahal tak ada keinginanku untuk meminta padamu. Pada awal-awal bulan, engkau
membelikan aku sebuah notebook guna menunjang belajarku dan tak lupa engkau
memperbolehkan aku menggunakan sepeda motor untuk berangkat ke sekolah padahal
aku sudah bersikukuh untuk tetap menggunakan sepeda, namun keinginanmu untuk
senantiasa memberikan kemudahan pada anak-anakmu tak pernah bisa aku tolak.
Hingga
akhirnya aku masuk bangku kuliah, ketika aku mampu memperoleh beasiswa penuh
dan tiap bulannya uang hidupku di perantauan sudah tercukupi melalui uang
beasiswa, engkau masih saja mengirimkan uang bulanan kepadaku meskipun hal
tersebut tidak serutin sebelum aku mendapatkan beasiswa. Ketika aku meminta
untuk tidak usah dikirimi uang bulanan dan uang tersebut dialihkan untuk
kebutuhan adik atau hal lain, engkau bersikukuh menolak dengan alasan bahwa
masi menjadi tanggung jawab ayah untuk tetap memberi uang saku pada anaknya
selama anaknya masih sekolah dan belum memiliki penghasilan sendiri. Sekali
lagi aku pun tak bisa menolak permintaanmu tersebut, yang hanya bisa aku
lakukan adalah mensyukuri dan menabungnya untuk berjaga-jaga jika suatu saat
engkau atau keluarga yang lain membutuhkan aku masih bisa mengeluarkannya.
Berhasil
sudah aku menyelesaikan pendidikan sarjanaku, dan terlihat raut wajah banga
terpancar dari wajahmu ayah. Keinginanmu agar aku bisa menyelesaikan pendidikan
lebih cepat sudah mampu aku laksanakan. Kini ingin aku sekali lagi
membahagiakanmu bersama ibu ketika kalian mendengar aku bisa diterima bekerja
di suatu perusahaan dan dapat memberikan gaji pertamaku untuk kalian. Tapi hal
itu tidaklah berjalan sesuai dengan rencana. Hampir setahun aku masih belum
diterima dimana-mana, perasaan gundah dan stress mulai muncul dalam benakku dan
engkau pun mulai memberikan nasihat
untuk pulang ke kampung dan mulailah mencari pekerjaan dari sana. Ketika
nasihatmu itu aku coba ikuti, engkau mulai dilanda penyakit. Tiap hari engkau
selalu keluar masuk rumah sakit. Tiap minggu kondisimu selalu turun dan tidak
menunjukkan kemajuan apapun hingga akhirnya Sang Khalik pun memanggilmu wahai
Ayah.
Aku
pun sangat sedih dan kecewa karena hingga akhir hayatmu masih belum bisa
membahagiakan dirimu, namun dilain sisi aku berpikir mungkin memang inilah yang
Allah inginkan, dapat menemanimu di saat-saat terakhirmu sebelum akhirnya
engkau kembali ke hadirat-Nya. Meskipun banyak dari pemikiran kita berbeda,
namun aku tetap bangga padamu wahai Ayahku. Engkaulah Ayah terhebat yang pernah
aku miliki. Terima kasih atas jasa-jasamu dalam membesarkanku, wahai Ayah. Akan
selalu aku ingat dan akan selalu aku do’akan semoga kelak kita dapat berkumpul
kembali di surga. Amiiin, for my beloved father. ;-)
"Janganlah pernah berusaha untuk berpikiran negatif tentang hidup yang engkau jalani saat ini, karena Allah pasti lebih mengetahui masa depan yang terbaik untukmu. Jadi nikmati dan berusahalah, biarkan Allah yang mengatur karena penyesalan hanya akan datang di akhir cerita"

Tidak ada komentar:
Posting Komentar