Sabtu, 15 Agustus 2015

This Letter Just For You, My Hero, My Beloved Father



Bulan Mei dalam dua tahun ini merupakan bulan-bulan yang menyenangkan sekaligus menjadi bulan yang menyedihkan bagiku. Tepat menjelang beberapa hari genap satu tahun wisudaku, ayahandaku tercinta dipanggil kehadirat Allah swt. Kesedihan sangat menimpaku karena tepat sebelum beliau dipanggil, firasat tersebut muncul terlebih dahulu melalui sebuah mimpi dan berselang beberapa menit kemudian ayahku sudah tiada. Walaupun demikian, aku cukup senang dan ikhlas karena dapat mendampingimu, mendoakanmu, memandikanmu, menyolatimu, dan ikut menguburkan engkau wahai ayahandaku di detik-detik kepergianmu. Mungkin inilah rencana Allah swt. yang dipersiapkan untukku, belum mengijinkanku bekerja karena harus menjalakan kewajibanku terhadapmu wahai ayahanda. Untuk itu, izinkanlah aku ayahanda untuk menuliskan secarik surat untukmu. Semoga engkau mengetahui apa isi hatiku sejak kecil hingga aku dewasa sekarang.
            Terlahir sebagai putra kedua dari pasangan ayah dan ibu yang hidup dalam kesederahanaan membuatku tumbuh dengan keinginan membahagiakan kedua orang tuaku. Apakah kau tahu ayahanda, sesungguhnya sejak kecil aku merasa iri terhadap saudara-saudaraku, baik kakak ataupun adikku. Keirianku hanyalah karena hal sepele, yakni ulang tahun. Engkau dan Ibu pernah merayakan ulang tahun kakak ketika masih kecil dan Engkau pun selalu menuruti permintaan adik setiap kali meminta barang baru. Sedangkan aku, sejak kecil aku harus belajar menabung untuk bisa membeli barang yang aku inginkan. Kadangkali aku harus meminta-minta ke Bibi jika engkau tidak berkenan membelikan. Bahkan masih teringat dibenakku, untuk bisa membeli sebuah memory card, aku pun harus berpura-pura memainkan peran sebagai seorang teller bank, meminta tanda tanganmu dan sepulang sekolah mengambil uang tabunganku sendiri karena aku yakin engkau tak akan mau membelikannya untukku.
            Kakak dan adikku sepertinya adalah dua orang yang paling engkau sayang, jarang sekali engkau marah kepada mereka sedangkan padaku engkau marah dengan sangat kerasnya sampai aku masih teringat kemarahanmu saat aku bermain-main di sebuah toko baju dan hingga kini pun masih berbekas didalam ingatanku.
            Wahai ayahku, tahukah engkau bahwa semenjak aku kecil, kita sudah beberda pandangan. Teringat padaku saat-saat aku akan memasuki SMP. Dengan tegun engkau ingin aku masuk ke SMPN 3 Kediri mengikuti jejakmu dan kakak, namun aku tetap bersikukuh untuk masuk ke SMPN 1 Kediri. Berbagai alasan coba engkau sampaikan namun aku tetap keras kepala dengan pilihanku. Dan pada akhirnya aku mampu membuktikan kepadamu bahwa aku bias melakukan hal lebih disini. Aku mampu berprestasi baik di dalam kelas atau pun diluar kelas. Gelar juara kelas selalu bisa aku raih tiap semesternya dan aku pun juga menjadi murid yang spesial dihadapan para guru-guru. Engkau lihatkan Ayahanda, aku mampu dan aku bisa berbuat lebih dari yang pernah engkau khawatirkan.
            Dan semenjak hari itu, engkau pun mulai mempercayai anakmu ini. Engkau mulai mempercayai diriku dengan sepenuhnya dan mendukungku dalam setiap kegiatan dan pilihan sekolah yang ingin aku masuki. Menginjak usia SMA, dan aku pun berhasil masuk ke program akselerasi yang  memberikan kesempatan padaku untuk dapat menyelesaikan masa sekolah SMAku dalam dua tahun.
            Dalam kondisi keluarga cukupan, engkau pun tetap berusaha memenuhi kebutuhanku padahal tak ada keinginanku untuk meminta padamu. Pada awal-awal bulan, engkau membelikan aku sebuah notebook guna menunjang belajarku dan tak lupa engkau memperbolehkan aku menggunakan sepeda motor untuk berangkat ke sekolah padahal aku sudah bersikukuh untuk tetap menggunakan sepeda, namun keinginanmu untuk senantiasa memberikan kemudahan pada anak-anakmu tak pernah bisa aku tolak.
            Hingga akhirnya aku masuk bangku kuliah, ketika aku mampu memperoleh beasiswa penuh dan tiap bulannya uang hidupku di perantauan sudah tercukupi melalui uang beasiswa, engkau masih saja mengirimkan uang bulanan kepadaku meskipun hal tersebut tidak serutin sebelum aku mendapatkan beasiswa. Ketika aku meminta untuk tidak usah dikirimi uang bulanan dan uang tersebut dialihkan untuk kebutuhan adik atau hal lain, engkau bersikukuh menolak dengan alasan bahwa masi menjadi tanggung jawab ayah untuk tetap memberi uang saku pada anaknya selama anaknya masih sekolah dan belum memiliki penghasilan sendiri. Sekali lagi aku pun tak bisa menolak permintaanmu tersebut, yang hanya bisa aku lakukan adalah mensyukuri dan menabungnya untuk berjaga-jaga jika suatu saat engkau atau keluarga yang lain membutuhkan aku masih bisa mengeluarkannya.
            Berhasil sudah aku menyelesaikan pendidikan sarjanaku, dan terlihat raut wajah banga terpancar dari wajahmu ayah. Keinginanmu agar aku bisa menyelesaikan pendidikan lebih cepat sudah mampu aku laksanakan. Kini ingin aku sekali lagi membahagiakanmu bersama ibu ketika kalian mendengar aku bisa diterima bekerja di suatu perusahaan dan dapat memberikan gaji pertamaku untuk kalian. Tapi hal itu tidaklah berjalan sesuai dengan rencana. Hampir setahun aku masih belum diterima dimana-mana, perasaan gundah dan stress mulai muncul dalam benakku dan engkau pun mulai memberikan nasihat  untuk pulang ke kampung dan mulailah mencari pekerjaan dari sana. Ketika nasihatmu itu aku coba ikuti, engkau mulai dilanda penyakit. Tiap hari engkau selalu keluar masuk rumah sakit. Tiap minggu kondisimu selalu turun dan tidak menunjukkan kemajuan apapun hingga akhirnya Sang Khalik pun memanggilmu wahai Ayah.

            Aku pun sangat sedih dan kecewa karena hingga akhir hayatmu masih belum bisa membahagiakan dirimu, namun dilain sisi aku berpikir mungkin memang inilah yang Allah inginkan, dapat menemanimu di saat-saat terakhirmu sebelum akhirnya engkau kembali ke hadirat-Nya. Meskipun banyak dari pemikiran kita berbeda, namun aku tetap bangga padamu wahai Ayahku. Engkaulah Ayah terhebat yang pernah aku miliki. Terima kasih atas jasa-jasamu dalam membesarkanku, wahai Ayah. Akan selalu aku ingat dan akan selalu aku do’akan semoga kelak kita dapat berkumpul kembali di surga. Amiiin, for my beloved father. ;-)

"Janganlah pernah berusaha untuk berpikiran negatif tentang hidup yang engkau jalani saat ini, karena Allah pasti lebih mengetahui masa depan yang terbaik untukmu. Jadi nikmati dan berusahalah, biarkan Allah yang mengatur karena penyesalan hanya akan datang di akhir cerita"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Perjalanan Pasti Akan Berakhir

Aku tidak tahu kapan aku memulainya karena dengan demikian aku berharap tidak akan pernah ada akhirnya. Deburan ombak dan hembusan angin s...