![]() |
| "Ayahanda, meskipun engkau sekarang tidak ada bersama kami namun engkau selalu ada didalam hati kami" |
Teringat akan peristiwa menyedihkan di Bulan Mei Tahun 2015. Tepat setahun setelah wisudaku, aku menemani hari terakhir ayahandaku tersayang dalam pembaringannya di rumah sakit akibat penyakit kanker paru-paru yang diderita beliau. Pada malam itu aku terus melantunkan ayat-ayat suci dari Al Qur'an khususnya Surah Yasin dan Juz Amma' memohon kepada Sang Khalik agar ayahandaku dapat diberikan mukjizat agar bisa kembali sehat, karena dokter sudah memvonis ayahanda tidak bisa sehat dan hanya tinggal menunggu waktu hingga ajal menjemputnya. Keesokan harinya ketika aku berganti dengan ibu dan kakakku untuk menjaga ayahanda, aku pulang dan beristirahat. Sekitar pukul 10 pagi, aku terbangun karena mimpi ayahanda mengeluarkan darah dari tangannya. Segera aku menghubungi kakakku yang sedang ada di rumah sakit bertanya tentang kondisi ayah. Awalnya kakak menjawab tidak ada apa-apa, kondisinya masih kritis belum berubah. Namun berselang beberapa menit, kakak mengabari lagi bahwa ayahanda telah tiada. Sontak aku menangis dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Singkat cerita setelah prosesi pemakaman, ibu bercerita bahwa ayahanda menghembuskan nafas terakhir setelah mendengar ibu berjanji bahwa akan menyekolahkan Sari (adik bungsuku) hingga sekolah tinggi (D3/S1).
Semenjak kejadian saat itu, aku pun menutup keinginanku untuk mengejar sekolah S2ku. Aku pun lebih fokus untuk mencari pekerjaan yang halal untuk membantu kehidupan ibu dan memenuhi janji ibu kepada ayahanda untuk menyekolahkan adikku, Sari. Upaya untuk tetap istikhomah dalam membiayai adikku bersekolah bisa dikatakan sangat berat. Terkadang godaan untuk kembali ingin mengejar S2 ataupun ingin menyempurnakan agama selalu menghadap didepan, namun janji kepada ayahanda dan sebagai laki-laki seorang diri di keluarga menjadi pengingat bahwa menuntaskan pendidikan adik yang lebih utama.
Bisa dikatakan, almarhum ayahanda sangatlah bangga terhadap anak-anaknya terutama kakak dan aku. Bisa dikatakan kakak dan aku selalu berprestasi sejak masuk sekolah dari SD hingga SMA. Hanya saja jalan pendidikan yang kakak dan aku jalani berbeda, walaupun demikian kami bersyukur bisa menjalani pendidikan di sekolah tinggi dan menyelesaikan pendidikan tersebut tepat waktu dengan kondisi finansial keluarga yang pas-pasan. Ayah pensiun dari perusahaan tepat satu/dua bulan sebelum aku wisuda di tahun 2014.
Hal ini berbeda dengan adikku, Sari. Sejak kecil adikku kurang bisa berprestasi seperti kakakku dan aku. Perjalanan pendidikan adiku bisa dikatakan lebih sulit. Tidak jarang adikku menangis karena merasa sangat tertinggal dan tidak bisa mengikuti jejak kami. Hal ini yang menjadi perhatian bagai ayahanda sehingga ayah selalu memperhatikan dan lebih menyayangi adikku, Sari.
Setelah ayah pensiun, yang menjadi beban pikiran ayah adalah bagaimana nasib sekolah adikku, Sari. Ayah tidak mau adikku tidak bisa merasakan pendidikan seperti kedua kakak-kakaknya. Sehingga setelah pensiun pun ayah masih bekerja kesana kemari. Selain untuk aktivitas juga sebagai bekal tabungan untuk persiapan pendidikan adikku. Namun, Allah swt berkata lain, ayahanda dipanggil oleh Allah swt tepat beberapa minggu sebelum adikku melaksanakan Ujian Nasional SMA. Tentunya hal tersebut menjadi beban untuk adikku. Walaupun demikian, dukungan dari ibu, kakak, dan saudara-saudara yang lain bisa menguatkan adikku hingga akhirnya dia bisa lulus SMA dan diterima masuk ke salah satu perguruan tinggi di Kediri di jurusan yang dia sukai Gizi Kesehatan.
Syukur alhamdulillah, pada hari Rabu, 19 September 2018 adik kecilku yang sangat disayangi oleh keluarga terutama almarhum ayahanda telah berhasil menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar Ahli Madya Gizi (A.Md.G). Selamat atas usaha dan perjuanganmu, wahai adikku.
Kini janji yang telah ibu sampaikan kepada ayahanda di hari terakhirnya sudah terlunasi atas izin Allah swt. Semoga Allah swt menempatkan ayahanda ditempat yang paling baik disisi-Nya dan keberhasilan Sari ini bisa menjadi amal jahiriyah ayahanda.
Wahai adikku, sekarang engkau sudah sama hebatnya dengan kakak-kakakmu. Janganlah sekarang engkau minder dengan kemampuanmu. Lakukanlah hal hebat mulai dari sekarang dan tetap istikhomah dalam kebaikan. Semoga kesuksesan selalu menyertaimu. Sekarang sudah waktunya kita bertiga untuk membalas budi dengan merawat dan membahagiakan ibunda tercinta. (DC)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar