Rabu, 19 Agustus 2015

Cerita Duka di Bulan Penuh Keceriaan

           


 Mungkin diantara cerita-cerita saya, ini mungkin menjadi cerita yang tidak baik. Tapi apadaya namanya kehidupan dan kita sebagai manusia memang tidaklah sempurna. Seandainya kita sebagai manusia adalah sosok yang sempurna dan dapat mengetahui isi hati orang lain. Maka sudah tidak akan mungkin manusia itu akan hidup secara bersama-sama, adanya adalah hidup secara individual.
            Yah, ceritanya demikian. Suatu hari saya adalah seorang anggota di sebuah organisasi yang dianggap sebagai seorang alumni bukan karena telah menyelesaikan masa studinya. Di dalam organisasi tersebut ada sebuah mekanisme dimana ketika si anggota sedang berada di luar kota tempat organisasi berada, maka status keanggotaannya di non aktifkan dan ada pula sebuah kesepakatan dimana ketika memang dalam kondisi khusus, anggota yang sedang berada di kota tempat organisasi berada, statusnya dapat di non aktifkan asalkan memang kondisinya terpaksa dan kesulitan untuk menghadiri urusan organisasi. Namun yang dapat melakukan permohonan itu adalah mereka yang sudah menjadi “anggota khusus”.
            Nah, inti cerita dimulai dari sini. Saya baru saja kembali dari kampung halaman karena ada urusan keluarga yang sangat penting. Saya kembali ke kota tempat organisasi saya bernaung karena ada tawaran proyek yang berdurasi 3 bulan dan membuat saya harus berada di kota tersebut dan meninggalkan kampung halaman saya. Proyek tersebut tidak terlalu mengambil tenaga dan waktu saya sehingga saya masih melakukan berbagai hal termasuk aktif berkegiatan di organisasi. Suatu malam saya mendapatkan undangan untuk rapat membahas suatu kegiatan dan saya pun dating dengan kondisi terlambat. Sungguh terkejutnya saya bahwa ketika saya sampai di tempat rapat, seorang penanggung jawab menanyakan kepada saya kenapa saya datang dalam rapat. Saya pun menjawabnya dengan tenang bahwa karena saya menerima undangan, dan sontak saya menjadi terkejut ketika dia menyampaikan bahwa status saya sudah di non aktifkan tanpa adanya klarifikasi atau pemberian informasi kepada saya.
            Awalnya hal ini membuat saya terkejut dan ada sedikit rasa penyesalan terhadap keputusan tersebut. Namun setelah saya bertanya alasannya saya pun cukup bisa menerima karena memang demi kebaikan saya dan karena saya lebih menghormati keputusan para penanggung jawab. Akhirnya saya pun lepas dari keaktifan di organisasi, walaupun demikian saya masih sering mendatangi sekre organisasi karena ingin berinteraksi dan berbagi dengan orang-orang yang datang ke sekre.
            Hari demi hari berlalu hingga bulan sudah menginjak bulan Agustus. Saya tahu pada bulan-bulan ini organisasi pasti sibuk dan mebutuhkan banyak orang oleh karenanya saya memberikan saran kepada penanggung jawab untuk bisa lebih merapatkan barisan dan mempersiapkan anggota, namun tidak tahu apakah saran saya diterima atau didengar atau tidak karena kenyataanya banyak sekali hal yang miss pada penyelenggaraan kegiatan di bulan ini.
            Melihat hal tersebut, ada keinginan dari saya untuk membantu tapi tidak ikut campur secara keseluruhan. Oleh karena itu pada saat persiapan untuk pelaksanan upacara saya mencoba hadir dan menemani, namun tidak ikut secara langsung membantu persiapan. Harapan saya jika misalkan ada yang kurang pas mereka bisa bertanya atau saya dapat memberikan arahan. Hal ini karena upacara yang akan dilaksanakan akan dilihat oleh seluruh jajaran dan anggota baru dari induk organisasi tempat organisasi saya bernaung. Kesibukan saya yang masih harus keluar kota membuat saya tidak bisa menemani setiap waktu, namun jika saya berada di dalam kota dan longgar pasti saya sempatkan untuk menemani.
            Tapi niat baik saya tersebut rupanya bertentangan dengan kenyataan. H-2 sebelum pelaksanaan upacara saya mencoba menemani mereka melakukan persiapan. Persiapan dilakukan pada malam hari setelah magrib. Saya pun datang cukup terlambat, namun saya tidak datang sendiri. Saya datang bersama dengan penanggung jawab utama yang memang tanpa sengaja datang terlambat karena ada kepentingan. Tidak tahunya ketika saya sampai disana, persiapan sudah selesai dan pada saat sesi lingkaran evaluasi, tak ada ruang yang diberikan kepada saya, seolah-olah saya adalah orang asing yang memang bukan dari organisasi. Saya pun menerimanya dan duduk di samping salah seorang anggota. Dan benar saja hingga perbincangan selesai, tak seorang pun yang merasa bahwa saya ada disana. Saya seperti hantu yang jelas ada disana dan tidak dianggap keberadaan saya. Tiba-tiba lingkaran pun sudah akan dibubarkan. Karena saya merasa sudah tidak dianggap dan percuma saya sudah mengeluarkan waktu dan tenaga untuk menemani dan melihat mereka tapi dari mereka merasa tidak membutuhkan atau bahkan tidak menganggap saya, maka saya pun pergi dengan hati yang sakit.
            Keesokan harinya, saya pun tidak mau dan tidak ada keinginan untuk datang dalam gladi bersih. Saya hanya akan memutuskan untuk melihat hasil persiapan mereka pada hari pelaksanaan. Ternyata ketika hari pelaksanaan, apa yang mereka persiapkan menurut saya tidaklah sebaik persiapan-persiapan sebelumnya. Dan selama lima tahun saya di organisasi, tahun ini adalah tahun terjelek yang pernah saya perhatikan. Walaupun demikian, saya lantas tidak ingin menyombongkan diri dan menjelek-jelekkan mereka. Saya menerima apa yang sudah menjadi usaha mereka. Semua itu adalah usaha dan memang giliran mereka yang menjadi tulang punggung organisasi. Dan setelah itu saya pun memutuskan ingin membatalkan kontrak proyek dan kembali ke kampung halaman berharap tidak ingin ikut campur lagi di organisasi. Karena setiap kali saya kembali ke kota tersebut, saya ingin kembali ke organisasi tersebut karena kecintaan saya pada organisasi tersebut.

            Semoga ini hanya perasaan saya dan bukan menjadi hal yang sebenarnya.

Sumber gambar : qurratayun.blogspot.com

Selasa, 18 Agustus 2015

Trip on Gedung Agung at Independence Day



Pagi hari yang berawan kala aku keluar dari kamar kos untuk menghirup udara pagi saat itu. Sebuah tas kecil berisikan perlengkapan untuk menghadapi kendala saat bersepeda dan beberapa perlengkapan elektronik sudah tertata rapi. Sepeda yang aku pinjam dari seorang teman pun sudah siap untuk aku kendarai. Dengan penampilan yang sesuai dengan ciri khasku, yakni berjaket hitam dan dengan mengenakan sebuah topi, aku mulai berangkat untuk menuju ke tempat penting di hari yang penting juga, yakni memperingati Hari Kemerdekaan RI ke – 70 di Gedung Agung, Yogyakarta.
Sudah keinginanku sejak aku tiba di Yogyakarta untuk bisa mengikuti ataupun melihat bagaimana pelaksanaan upacara Hari Kemerdekaan Repiublik Indonesia diselenggarakan di Kota Yogyakarta ini. Selama 4 tahun lebih keberadaanku di Yogyakarta, baru kali ini aku memiliki waktu untuk bisa pergi menuju ke Gedung Agung, Yogyakarta untuk melihat penyelenggaraan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Segera seteah persiapan siap, aku mulai mengeluarkan sepeda dari tempat parkir, membuka gerbang, dan mulai kukayuh sepeda tersebut menuju ke Gedung Agung. Selama perjalanan, aku amati kondisi jalan yang masih cukup lengang, tidak terlalu banyak kendaraan baik dari mahasiswa atau para pekerja yang melalui jalan-jalan utama di sekitar kampus UGM. Apakah mungkin karena hari ini hari libur sehingga banyak mahasiswa yang lebih memilih menghabiskan waktu untuk di dalam kamar atau mungkin sudah memiliki rencana memperingati hari kemerdekaan di tempat lain. Entahlah, apapun itu yang jelas kondisi jalan saat itu sangat nyaman untuk kutelusuri.
Aku dengan sengaja membuat rute menuju ke Gedung Agung dengan melewati kantor pusat UGM. Rupanya ketika aku sudah sampai disana, halaman utama kantor pusat UGM sudah bersih dan terlihat tanda-tanda telah selesai pelaksanaan upacara memperingati hari kemerdekaan. Benar saja, saat itu aku baru keluar dari rumah pukul 8 lewat sedangkan penyelenggaraan upacara di UGM pasti dimulai pada pukul 07.00 sehingga selesainya tidak akan terlalu siang. Wajar jika halaman kantor pusat sudah sepi dan bersih dari peserta upacara. Tanpa berhenti, aku pun tetap mengayuh sepedaku menuju ke Gedung Agung, Yogyakarta.
Dalam beberapa ruas jalan aku sempat berpapasan dengan beberapa siswa sekolah yang sudah pulang dari sekolah. Sepertinya sekolah juga telah selesai menyelenggarakan upacara dan memulangkan siswa-siswanya lebih pagi. Namun, dalam tengah perjalanan ada hal yang membuatku tersenyum bangga, yakni saat aku menelusuri jalan C. Simanjuntak, aku berpapasan dengan adik sekolah dasar yang juga dalam perjalanan pulang ke rumah dengan menggunakan sepeda. Sepedanya berhias bendera kecil merah putih di bagian belakang sepeda dan ketika aku mendahului si adik, terdengar suara nyanyian dari si adik “Bendera Merah Putih.... Bendera Tanah Airku........”. Suara nyanyian kecil tersebut tedengar oleh telingaku dan tanpa sadar aku menirukan lagu adik tersebut. Perasaan senang dan bangga muncul dalam hatiku karena si adik tersebut dengan bangga menyanyikan lagu-lagu kemerdekaan. Merekalah yang 30 tahun lagi akan menjadi generasi penerus dan pemimpin bangsa ini. Hal ini pun mengingatkanku kepada adik-adik Papua di Distrik Aroba yang sangat bersemangat kala menyanyikan lagu-lagu kemerdekaan di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Kulalui jalan Mangkubumi hingga jalan Malioboro dan terlihat kondisi jalanan yang belum terlalu ramai. Perjalananku pun akhirnya berujung, tepat di depan Benteng Vredeburg, ramai khalayak masyarakat dari berbagai latar belakang memenuhi area antara Benteng dengan Gedung Agung. Aku pun sangat terkejut melihat kondisi tersebut. Ku mulai untuk turun dari sepedaku dan mencari sebuah tempat duduk dibawah pohon untuk melihat-lihat kondisi sekitar. Kumulai memandangi orang-orang yang memadati area depan Gedung Agung. Terlihat adanya sekelompok polisi lantas, tentara, masyarakat dengan berbagai kondisi, ada yang sudah rapi, ada yang masih mengenakan kaos olahraga, dan ada pula yang berjualan. Seluruh masyarakat ini semuanya menantikan detik-detik pelaksanaan upacara di Gedung Agung.
Benar saja, ketika waktu mulai menunjukkan pukul 09.30, seluruh masyarakat mulai mendekati pagar Gedung Agung. Perlu diketahui bahwa memang hanya mereka tamu undangan dan peserta upacara yang mendapatkan undangan saja yang dapat masuk ke dalam halaman Gedung Agung untuk bisa mengikuti upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Sedangkan aku bersama masyarakat yang lain hanya bisa melihat dan mengikuti pelaksanaan upacara dari balik pagar. Dan tentunya aku juga merapatkan diriku ke tengah-tengah masyarkat yang sudah memadati pinggiran pagar Gedung Agung.
Suasana mulai menjadi sesak ketika momen yang paling ditunggu-tunggu tiba, yakni pengibaran Bendera Sang Merah Putih. Rupanya aksi dari Paskibra Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi primadona tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta atau turis yang sedang berkunjung ke Yogyakarta. Nyatanya, mereka rela untuk berdesak-desakkan agar bisa melihat putra-putri terbaik se-Dearah Istimewa Yogyakarta dalam mengibarkan Bendera Sang Merah Putih.


Terdengar dengan keras aba-aba perintah dari pemimpin pasukan pengibar untuk melangkahkan kaki dan mulai terlihat barisan putih-putih para pasukan pengibar memasuki lapangan upacara menuju ke depan Gedung Agung, tempat dimana Inspektur Upacara berada untuk mengambil Bendera Sang Merah Putih yang akan dikibarkan. Masyarakat pun mulai dengan ramai-ramainya menyalakan smartphone atau kamera mereka untuk mulai merekam pengibaran tersebut. Yang membuat saya takjub adalah pada saat bendera telah terbuka dan siap untuk ditarik ke atas, Pemimpin Upacara pun memberikan aba-aba untuk bersikap hormat dan nyanyian Indonesia Raya pun dilantunkan, sontak masyarakat di sekelilingku pun ikut mengerakkan tangan dan bersikap hormat atas dikibarkannya Bendera Sang Merah Putih. Sungguh hal yang sangat membanggakan dan menyenangkan menyadari bahwa pada diri masyarakat saat ini masih tertanam rasa cinta tanah air yang sangat tinggi dan bangga akan perjuangan bangsa hingga dapat dikibarkanya Bendera Sang Merah Putih.
Selesai pengibaran, pasukan pengibar pun kembali ke barisan dan menuju ke tempat semula di titik awal pemberangkatannya. Acara pun dilanjutkan dengan menyanyikan lagu-lagu kemerdekaan oleh tim paduan suara pelajar Yogykarta yang telah dipersiapkan dengan mengenakan pakaian-pakaian adat daerah dari sebagian daerah Republik Indonesia. Pada saat itu pun aku mulai mengayuhkan sepedaku kembali untuk mengitari sebagian area kota Yogyakarta dan berakhir kembali pulang ke tempat kos sebelum dzuhur.
Selamat para Paskibra Daerah Istewa Yogyakarta, kalian telah melaksanakan tugas mulia dengan sangat sempurna. Selamat Hari Kemerdekan Republik Indonesia ke-70, semakin jayalah Indonesia dan jadilah macan dunia!

sumber gambar : krjogja, sorotjogja

Sabtu, 15 Agustus 2015

This Letter Just For You, My Hero, My Beloved Father



Bulan Mei dalam dua tahun ini merupakan bulan-bulan yang menyenangkan sekaligus menjadi bulan yang menyedihkan bagiku. Tepat menjelang beberapa hari genap satu tahun wisudaku, ayahandaku tercinta dipanggil kehadirat Allah swt. Kesedihan sangat menimpaku karena tepat sebelum beliau dipanggil, firasat tersebut muncul terlebih dahulu melalui sebuah mimpi dan berselang beberapa menit kemudian ayahku sudah tiada. Walaupun demikian, aku cukup senang dan ikhlas karena dapat mendampingimu, mendoakanmu, memandikanmu, menyolatimu, dan ikut menguburkan engkau wahai ayahandaku di detik-detik kepergianmu. Mungkin inilah rencana Allah swt. yang dipersiapkan untukku, belum mengijinkanku bekerja karena harus menjalakan kewajibanku terhadapmu wahai ayahanda. Untuk itu, izinkanlah aku ayahanda untuk menuliskan secarik surat untukmu. Semoga engkau mengetahui apa isi hatiku sejak kecil hingga aku dewasa sekarang.
            Terlahir sebagai putra kedua dari pasangan ayah dan ibu yang hidup dalam kesederahanaan membuatku tumbuh dengan keinginan membahagiakan kedua orang tuaku. Apakah kau tahu ayahanda, sesungguhnya sejak kecil aku merasa iri terhadap saudara-saudaraku, baik kakak ataupun adikku. Keirianku hanyalah karena hal sepele, yakni ulang tahun. Engkau dan Ibu pernah merayakan ulang tahun kakak ketika masih kecil dan Engkau pun selalu menuruti permintaan adik setiap kali meminta barang baru. Sedangkan aku, sejak kecil aku harus belajar menabung untuk bisa membeli barang yang aku inginkan. Kadangkali aku harus meminta-minta ke Bibi jika engkau tidak berkenan membelikan. Bahkan masih teringat dibenakku, untuk bisa membeli sebuah memory card, aku pun harus berpura-pura memainkan peran sebagai seorang teller bank, meminta tanda tanganmu dan sepulang sekolah mengambil uang tabunganku sendiri karena aku yakin engkau tak akan mau membelikannya untukku.
            Kakak dan adikku sepertinya adalah dua orang yang paling engkau sayang, jarang sekali engkau marah kepada mereka sedangkan padaku engkau marah dengan sangat kerasnya sampai aku masih teringat kemarahanmu saat aku bermain-main di sebuah toko baju dan hingga kini pun masih berbekas didalam ingatanku.
            Wahai ayahku, tahukah engkau bahwa semenjak aku kecil, kita sudah beberda pandangan. Teringat padaku saat-saat aku akan memasuki SMP. Dengan tegun engkau ingin aku masuk ke SMPN 3 Kediri mengikuti jejakmu dan kakak, namun aku tetap bersikukuh untuk masuk ke SMPN 1 Kediri. Berbagai alasan coba engkau sampaikan namun aku tetap keras kepala dengan pilihanku. Dan pada akhirnya aku mampu membuktikan kepadamu bahwa aku bias melakukan hal lebih disini. Aku mampu berprestasi baik di dalam kelas atau pun diluar kelas. Gelar juara kelas selalu bisa aku raih tiap semesternya dan aku pun juga menjadi murid yang spesial dihadapan para guru-guru. Engkau lihatkan Ayahanda, aku mampu dan aku bisa berbuat lebih dari yang pernah engkau khawatirkan.
            Dan semenjak hari itu, engkau pun mulai mempercayai anakmu ini. Engkau mulai mempercayai diriku dengan sepenuhnya dan mendukungku dalam setiap kegiatan dan pilihan sekolah yang ingin aku masuki. Menginjak usia SMA, dan aku pun berhasil masuk ke program akselerasi yang  memberikan kesempatan padaku untuk dapat menyelesaikan masa sekolah SMAku dalam dua tahun.
            Dalam kondisi keluarga cukupan, engkau pun tetap berusaha memenuhi kebutuhanku padahal tak ada keinginanku untuk meminta padamu. Pada awal-awal bulan, engkau membelikan aku sebuah notebook guna menunjang belajarku dan tak lupa engkau memperbolehkan aku menggunakan sepeda motor untuk berangkat ke sekolah padahal aku sudah bersikukuh untuk tetap menggunakan sepeda, namun keinginanmu untuk senantiasa memberikan kemudahan pada anak-anakmu tak pernah bisa aku tolak.
            Hingga akhirnya aku masuk bangku kuliah, ketika aku mampu memperoleh beasiswa penuh dan tiap bulannya uang hidupku di perantauan sudah tercukupi melalui uang beasiswa, engkau masih saja mengirimkan uang bulanan kepadaku meskipun hal tersebut tidak serutin sebelum aku mendapatkan beasiswa. Ketika aku meminta untuk tidak usah dikirimi uang bulanan dan uang tersebut dialihkan untuk kebutuhan adik atau hal lain, engkau bersikukuh menolak dengan alasan bahwa masi menjadi tanggung jawab ayah untuk tetap memberi uang saku pada anaknya selama anaknya masih sekolah dan belum memiliki penghasilan sendiri. Sekali lagi aku pun tak bisa menolak permintaanmu tersebut, yang hanya bisa aku lakukan adalah mensyukuri dan menabungnya untuk berjaga-jaga jika suatu saat engkau atau keluarga yang lain membutuhkan aku masih bisa mengeluarkannya.
            Berhasil sudah aku menyelesaikan pendidikan sarjanaku, dan terlihat raut wajah banga terpancar dari wajahmu ayah. Keinginanmu agar aku bisa menyelesaikan pendidikan lebih cepat sudah mampu aku laksanakan. Kini ingin aku sekali lagi membahagiakanmu bersama ibu ketika kalian mendengar aku bisa diterima bekerja di suatu perusahaan dan dapat memberikan gaji pertamaku untuk kalian. Tapi hal itu tidaklah berjalan sesuai dengan rencana. Hampir setahun aku masih belum diterima dimana-mana, perasaan gundah dan stress mulai muncul dalam benakku dan engkau pun mulai memberikan nasihat  untuk pulang ke kampung dan mulailah mencari pekerjaan dari sana. Ketika nasihatmu itu aku coba ikuti, engkau mulai dilanda penyakit. Tiap hari engkau selalu keluar masuk rumah sakit. Tiap minggu kondisimu selalu turun dan tidak menunjukkan kemajuan apapun hingga akhirnya Sang Khalik pun memanggilmu wahai Ayah.

            Aku pun sangat sedih dan kecewa karena hingga akhir hayatmu masih belum bisa membahagiakan dirimu, namun dilain sisi aku berpikir mungkin memang inilah yang Allah inginkan, dapat menemanimu di saat-saat terakhirmu sebelum akhirnya engkau kembali ke hadirat-Nya. Meskipun banyak dari pemikiran kita berbeda, namun aku tetap bangga padamu wahai Ayahku. Engkaulah Ayah terhebat yang pernah aku miliki. Terima kasih atas jasa-jasamu dalam membesarkanku, wahai Ayah. Akan selalu aku ingat dan akan selalu aku do’akan semoga kelak kita dapat berkumpul kembali di surga. Amiiin, for my beloved father. ;-)

"Janganlah pernah berusaha untuk berpikiran negatif tentang hidup yang engkau jalani saat ini, karena Allah pasti lebih mengetahui masa depan yang terbaik untukmu. Jadi nikmati dan berusahalah, biarkan Allah yang mengatur karena penyesalan hanya akan datang di akhir cerita"

Sebuah Perjalanan Pasti Akan Berakhir

Aku tidak tahu kapan aku memulainya karena dengan demikian aku berharap tidak akan pernah ada akhirnya. Deburan ombak dan hembusan angin s...